Penulis
Seorang pria berusia 35 tahun, bertubuh atletis, suka berolahraga, bekerja di tambang, mengeluhkan dadanya sering sakit kalau menaiki tangga. Dokter perusahaan lalu mengirimnya ke RSPI-Pondok Indah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hasilnya, pria itu diketahui mengalami penyempitan pembuluh darah koroner.
Kok bisa? “Ya bisa, apalagi karena memang ada riwayat dalam keluarganya,” terang dr. Taufik Pohan, Sp. JP, spesialis jantung di RSPI-Pondok Indah yang menanganinya. “Saat ini penderita penyakit jantung tidak bicara soal usia. Muda, umur 30-an bisa saja. Apalagi kalau ada faktor-faktor risiko.”
Belajar dari kasus pria pekerja tambang tadi, kita harus mewaspadai kemungkinan adanya potensi penyakit jantung koroner atau bahkan serangan jantung mendadak yang berakibat fatal. Mungkin Anda pernah mendengar tentang seseorang yang sehari-harinya tampak segar bugar tiba-tiba ambruk saat berolahraga, lalu meninggal dunia? Orang yang mendengarnya lalu terkejut semata-mata karena selama ini yang bersangkutan “baik-baik saja”.
Hikmah yang bisa dipetik dari kasus-kasus semacam itu, kita harus senantiasa mengetahui kondisi kesehatan jantung. Meski mungkin sehari-hari tidak ada keluhan dan kita merasa sehat. Sebab menurut dr. Taufik, hanya sekitar 60 persen dari penyakit jantung yang bergejala khas. Sebanyak 20 persen lagi justru tidak bergejala khas, bahkan sering dikira gangguan lain seperti gangguan lambung, masuk angin, dll. Akibatnya, penanganannya juga cenderung tidak tepat.
Pemeriksaan kesehatan jantung semakin mendesak untuk dilakukan jikalau Anda termasuk yang berisiko penyakit jantung. Misalnya memiliki riwayat penyakit jantung di keluarga, kegemukan, tekanan darah tinggi, jarang berolahraga, kebiasaan merokok atau minum alkohol. Terkait dengan faktor risiko dan gaya hidup ini, dr. Taufik mengungkapkan, di RSPI-Pondok Indah sendiri, pasien penyakit jantung usia produktif (20-49 tahun) meningkat dari 16,53 persen (2010) menjadi 28,84 persen (2013) atau naik 12,31 persen.
Bukan sekadar pencegahan, menurut dr. Taufik, masalah kecepatan penanganan saat terjadi serangan jantung juga sangat penting. Petaka itu dapat dikenali dari berbagai gejala khas seperti nyeri di dada, dada terasa berat, nyeri menjalar ke leher, rasa tercekik di rahang, keluhan di ulu hati, lalu muncul keringat dingin. “Kalau sudah terasa gejala-gejala seperti itu, penanganannya harus cepat,” tambah dr. Taufik.
Menyangkut dua hal penting dalam penanganan serangan jantung, yakni cepat dan akurat, RSPI-Pondok Indah berupaya memberikan pelayanan terbaik berupa alat CT scan bernama Dual Source CT Scan (DSCT) Flash. Sesuai namanya, flash, alat ini dapat melakukan pemindaian dalam waktu singkat yakni dalam hitungan detik saja. “Kecepatan ini penting untuk kasus-kasus seperti penyakit jantung, stroke, atau trauma,” kata dr. Yanwar Hadiyanto, chief executive officer RSPI Group dalam acara Konferensi Pers New Advanced Technology DSCT Flash di RSPI-Pondok Indah, Jakarta Selatan (8/5/14).
Kita mafhum, dalam penyakit jantung, CT scan merupakan salah satu cara untuk mengetahui adanya kemungkinan sumbatan pada pembuluh darah koroner. Nah, selain cepat, DSCT Flash juga memiliki akurasi pencitraan yang lebih detail. Tingkat akurasi yang tinggi ini tentunya akan membantu dokter untuk memberikan penanganan secara lebih tepat. Dan menyangkut tindakan preventif ini, saran dr. Taufik, pemeriksaan jantung hendaknya dilakukan sedini mungkin dengan cara sebaik mungkin. “Jangan nanti kalau sudah umur 50-an, pakai pemeriksaan yang ‘pahe’ atau paket hemat pula,” tuturnya.
Di manakah keunggulan DSCT Flash? Berbeda dengan teknologi CT scan sebelumnya, DSCT Flash menggunakan dua tube (tabung) yang diletakkan di titik berbeda. Dua tube itu akan memindai tubuh pasien dari sudut yang berbeda sehingga pemindaian hanya dalam hitungan detik. “Kecepatan ini juga berarti, paparan radiasi juga bisa berkurang sampai 50 persen,” jelas dr. Med. Luqman Adji Saptogino, SP.Rad (K), Sp.KN, spesialis radiologi RSPI-Pondok Indah. Dua tubeini pula yang mampu menghasilkan detail lapisan yang semakin banyak sehingga hasil gambarnya semakin tajam dan akurat.
Dalam pemindaian CT scan, kualitas gambar yang dihasilkan berhubungan dengan detak jantung. Semakin cepat detak jantung akan semakin sulit mendapat citra yang detail. Selama ini solusinya adalah memberi obat-obatan beta-blocker yang mampu menurunkan detak jantung. Dengan DSCT Flash, tentunya hal itu tidak diperlukan lagi. “Dengan detak jantung 100 bahkan 108 per menit pun bisa dilakukan scanning. Padahal biasanya detak jantung harus diturunkan 60-70 per menit,” tutur dr. Luqman. Dalam pemeriksaan jantung, pasien juga cukup diberi cairan kontras dalam jumlah rendah sehingga meminimalisir risiko efek samping kontras.
Tentu saja DSCT Flash bukan hanya bermanfaat untuk penanganan penyakit jantung. Kecepatan pemindaian amat bermanfaat saat menangani pasien dengan trauma. Pemeriksaan foto dada (thorax) juga bisa dilakukan hanya 0,6 detik, sehingga pasien tidak perlu menahan napas apabila detak jantung pasien rendah atau stabil. Begitu pula saat menangani pasien anak, tidak memerlukan sedasi atau anestesi saat pemindaian berkat kecepatan dari DSCT Flash ini.
Dari sisi kualitas gambar, dr. Luqman mengungkapkan, DSCT Flash sangat membantu karena banyak yang dikembangkan untuk keperluan diagnostik. Gambar yang dihasilkan mampu menampilkan jaringan-jaringan lunak di dalam tubuh, relatif berkurang noisy-nya, mampu menghilangkan struktur tulang yang tidak ingin dilihat, membedakan antara struktur ligamen dan tendon, bahkan bisa membedakan antara batu-batu asam urat dan batu ginjal. Semua pekerjaan rumit itu kini cukup dilakukan di DSCT Flash yang prosesnya secepat kilat dengan hasil akurat.