Penulis
Pembuluh darah aorta yang terdapat di dalam tubuh kita, tepatnya di dalam perut dekat tulang belakang, suatu saat bisa saja mengalami pembengkakan atau dalam dunia medis disebut Aneurisma Aorta Abdominal (AAA). Gejala awalnya memang tidak kasatmata dan tidak dirasakan oleh pasien. Bahkan celakanya, banyak tenaga kesehatan – termasuk dokter sekalipun – yang kurang mengerti tentang AAA ini.
Baru setelah pembengkakan aorta semakin besar, mulai terlihat adanya tonjolan di sekitar perut, dada, atau panggul. Bila diraba, benjolan itu berdenyut, seiring dengan denyut dari jantung. Bila makin besar, penderita kadang juga mengeluhkan susah BAB alias sembelit. “Penyebabnya karena pembengkakan tadi mulai menekan usus,” terang dr. Alexander Jaya Utama Sp.B(K)V, spesialis bedah vaskular RS Premier Bintaro dalam acara Media Gathering di Tangerang (17/9).
AAA sendiri terjadi karena proses pengapuran di aorta yang disertai pembengkakan hingga akhirnya bisa pecah. Pengapuran semacam ini sebenarnya bisa terjadi di pembuluh darah di lokasi-lokasi lain seperti di kaki. Akibatnya aliran darah di kaki bisa tersumbat, hingga muncul bintik biru atau kehitaman di jari kaki. Kalau sudah parah, akibatnya jari kaki menjadi mati akibat tidak adanya suplai makanan.
Ada berbagai faktor risiko munculnya AAA yakni tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes melitus, gaya hidup merokok, pengapuran pembuluh darah (ateroklerosis), penyakit paru-paru obstruktif kronis (CPOD), pernah menjalani operasi jantung baik pembalonan maupun by pass, serta faktor genetik. Penderita pria diketahui berjumlah lima kali lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Usia penderita umumnya di atas 60 tahun.
Kalau mau digambarkan, pembengkakan ini mirip balon yang membesar. Semakin besar ukurannya, kulitnya juga makin tipis dan rawan pecah. Hingga ada yang menyebutnya sebagai silent killer, karena jika sewaktu-waktu pecah, kesadaran pasien akan menghilang dan urusannya bisa langsung dengan Malaikat Maut. Di negara-gara maju dengan fasilitas kesehatan yang relatif baik, 80 persen pembuluh darah aorta yang pecah ini akan menyebabkan kematian. Tentu bisa dibayangkan bagaimana efeknya di negara yang fasilitas kesehatannya ala kadarnya.
Kalau memang sudah muncul keluhan, dokter cukup menerwang kondisi pembuluh darah penderita dengan ultrasonografi. Nanti akan terlihat tingkat pembengkakan aorta yang diukur dalam cm. Aorta yang normalnya hanya sekitar 2 cm bisa membesar hingga 4,5 cm, bahkan lebih. “Pada ukuran 4 cm saja, sudah harus dioperasi,” terang dr. Alex. “Jika lebih dari 7 cm, maka sekitar tiga perempat dari pasien pembuluh darahnya aortanya akan pecah.”
Pembuluh darah yang terlanjur bengkak harus segera dipensiunkan, diganti dengan tiruannya. Cara penanaman pembuluh darah baru itu dengan pembedahan terbuka, yakni pembedahan konvensional melalui pembukaan rongga perut. Ada pula metode lain yakni Endovascular Aneurisma Repair (EVAR) yang menanamkan pembuluh darah tiruan melalui pembuluh nadi di lipat paha. Keduanya tentu memiliki konsekuensi masing-masing.
Menurut dr. Alex, pada EVAR, persiapan pembedahan dilakukan dengan kecermatan yang luar biasa. Sebab pemasangan alat yang disebut stent graft ini membutuhkan presisi tinggi. Jika pemasangannya kurang pas, akibatnya alat bisa tidak bekerja dengan baik atau malah menghalangi aliran darah ke tempat lain seperti ginjal. Stent graft yang berbahan kombinasi kain dan logam ini memang harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien.
Kasus AAA sendiri diperkirakan terjadi pada 2 persen dari populasi yang berisiko. Di Asia, perkiraannya sekitar 17.000 kasus baru terdiagnosa AAA setiap tahun. Di Indonesia sendiri kasus AAA sudah mulai tertangani dengan baik berkat adanya kemajuan metode pengobatan seperti EVAR di berbagai rumah sakit, antara lain di RS Premier Bintaro.