70 Tahun Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki: Kesaksian para Penyintas

Moh Habib Asyhad

Penulis

70 Tahun Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki: Kesaksian para Penyintas

Intisari-Online.com -Meledaknya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 70 tahun yang lalu tidak hanya menjadi salah satu penanda berakhirnya Perang Dunia II. Lebih dari itu, ia juga telah meluluhlantakkan Jepang dan masyarakatnya, tidak hanya fisik, tapi juga psikologis.

Para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki mencoba mengisahkan peristiwa traumatik tersebut. Salah satunya adalah Sunao Tsuboi (90) yang menyebut ledakan itu seperti cendawan raksasa. “Saya tidak tahu mengapa saya selamat dan hidup selama ini. Semakin saya berpikir tentang hal itu, semakin terasa sakit untuk dikenang,” ujar Tsuboi kepada AFP, seperti dilansir Kompas, Kamis (6/8).

Ketika Little Boy yang berinti uranium itu lepas dari B-29, pesawat pembom milik Amerika Serikat, Tsuboi berada sekitar 1,2 kilometer dari pusat kota Hiroshima. Dentuman itu seperti cendawan raksasa. Tak hanya menghasilkan bola api saksasa, ledakan itu juga menghasilkan gelombang panas 4.000 derajat yang mampu meluluhkan baja.

Tsuboi waktu itu masih duduk di bangku SMA. Ia menggelepar-nggelepar sekarat. Celana, baju, dan kulitnya terbakar. Orang-orang di sekitarnya juga mengalami hal yang sama, bahkan kebanyakan dari mereka berujung tewas. Data menyebutkan, korban tewas akibat ledakan ini mencapai 140 ribu orang.

Sementara bagi mereka yang lolos dari maut tak sepenuhnya pulih. Tubuh mereka telah teradiasi. Aneka penyakit datang silih berganti, seperti gusi berdarah, gigi rontok, dan kanker. Tak hahya itu, ledakan ini juga menyebabkan cacat permanen, kelahiran bayi prematur, juga kematian mendadak.

Penyintas lain, Kimie Mihara (89), selamt dari bom tersebut karena telat datang ke kantor. Meski demikian, ia tidak mau berlama-lama berada di depan puing bekas kantornya—yang saat ini telah ditetap sebagai salah satu benda cagar budaya oleh UNESCO. “Saya tidak ingin melihat tempat ini untuk waktu yang lama. Saat tempat itu terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO, saya pikir saya bisa datang ke sini. Tapi saya masih tidak ingin melihat tempat tersebut,” tuturnya seperti dikutip AP. Mihara selamat dari ledakan bom tersebut karena terlambat datang ke kantor.

Meski lolos dari maut, ia tetap tidak luput dari luka, bahkan beberapa di antaranya masih tersisa hingga sekarang. Rumahnya juga terbakar habis. Lebih dari itu, akibat bom ini, ia harus terbaring di rumah sakit selama kurang lebih tiga bulan. Ia juga harus kehilangan ayahnya, yang menurutnya, saat kejadian berada tidak jauh dari tempat kejadian. (Kompas)