Setrika Payudara, Tradisi Kuno di Afrika untuk para Gadis yang Menginjak Masa Puber

Ade Sulaeman

Penulis

Setrika Payudara, Tradisi Kuno di Afrika untuk para Gadis yang Menginjak Masa Puber

Intisari-Online.com - Pernahkah Anda mendengar istilah setrika payudara? Prosedur ini bukanlah sebuah metode rekonstruksi kosmetika terbaru di dunia kecantikan, melainkan sebuah tradisi kuno di Afrika untuk para gadis remaja setempat ketika mereka menginjak masa puber.

Prosedur setrika payudara yang telah menjadi tradisi di beberapa negara di benua Afrika, dilakukan dengan satu kepercayaan, payudara adalah bagian tubuh yang harus dihilangkan.

Payudara dinilai sebagai bagian tubuh yang menonjolkan feminitas dan menarik perhatian pria. Menghilangkan payudara sama dengan melindungi para gadis remaja dari risiko perkosaan.

Ketika anak gadis tumbuh menjadi remaja, maka sang ibu wajib menyetrika payudara anaknya tersebut. Mereka menyetrika payudara dengan cara menggosokan batu, bambu, atau besi panas.

Para ibu di kebudayaan Afrika ini berpikir, jika dada anak gadis mereka rata, mereka akan terhindar dari risiko menjadi korban pemerkosaan.

Selain itu, para ibu berpkir, menyetrika payudara merupakan tindakan preventif supaya anak tidak cepat tumbuh dewasa sehingga dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ketimbang harus menikah muda.

Bicara dari soal medis, tentunya prosedur setrika payudara berisiko tinggi. Selain memicu kanker, metode ini menyebabkan infeksi, kista, dan merusak jaringan payudara.

UK National Committee fot UN Women, melaporkan bahwa tradisi setrika payudara ini terus meningkat dari waktu ke waktu.

Saat ini, diperkirakan ada 3,8 juta wanita di seluruh dunia yang pernah menjalankan setrika payudara secara paksa, mulai dari Kameron, Nigeria, Afrika Selatan, dan sejumlah remaja di Inggris pun berisiko menghadapi tradisi mengerikan tersebut.

United Nation Papulation Fund menyebutkan bahwa setrika payudara adalah salah satu dari lima tindak kejahatan dan kekerasan jender.

"Para gadis ini percaya bahwa apa yang diperbuat ibunya adalah suatu hal yang baik dan oleh karena itu mereka diam saja," tulis Cawagido, organisasi yang menolak keras setrika payudara.

"Apakah masuk akal jika kita hidup di mana tubuh wanita yang alami dianggap mengundang kejahatan hanya karena pria tidak bisa mengendalikan hawa nafsu mereka," tulis Leyla Hussein aktivis sekaligus korban FGM (Female Genital Mutilation) atau mutilasi alat vital wanita.

(Silvita Agmasari/kompas.com)