Penulis
Intisari-Online.com – Seorang teman bercerita, meski ayahnya telah meninggal lima tahun lalu kini baru tersadarkan betapa ia teramat mencintainya. Ia menyesal, mengapa tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membalas budi sang ayah. Pikirannya menerawang peristiwa sekian tahun lalu saat ayahnya tergolek di rumah sakit. Akibat penyakit yang dideritanya sang ayah tidak bisa tidur, insomnia. Sering mengigau dan ngomong sendiri. Barangkali karena sudah terlalu letih berminggu-minggu menunggu di rumah sakit, ia terganggu oleh omongan ayahnya yang tak berkesudahan. Pagi itu ia menyuruh ayahnya diam dan istirahat.
“Sebenarnya ayah juga ingin tidur tetapi tidak bisa. Kalau kamu tak mau lagi menemani tinggalkan saja ayah sendirian.” Begitu jawab sang ayah. Tak lama kemudian orangtua itu tak sadarkan diri dan harus dibawa ke ICU. Terang saja teman saya panik dan menyesal setengah mati telah berkata sembrono. Sebuah kesalahan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Sejak itu ia berdoa tiap hari agar ayahnya tersadar dari koma. Berjanji apa pun perkataan ayahnya nanti akan dilaksanakan sepenuh hati. Ia mohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan meminta maaf atas ucapannya yang telah menyakitkan hati ayahnya.
Mungkin pengalaman di atas dialami pula banyak di antara kita. Tak sabar menghadapi dan merawat orangtua. Padahal tanpa sadar kita melupakan jasa mereka dulu, ketika dengan amat sabar dan penuh cinta menunggui dan merawat kita sejak bayi sampai dewasa.
Mengakhiri ceritanya, teman itu tak malu mengaku, sampai sekarang setiap pulang kantor, di mobil ia selalu mendendangkan lagunya Ada Band, Yang Terbaik Bagimu (Jangan Lupakan Ayah) sambil meneteskan air mata …. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya. Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu…. (Intisari)