Buanglah Rasa Iri

K. Tatik Wardayati

Penulis

Buanglah Rasa Iri

Intisari-Online.com – Dua orang pasien dirawat dalam sebuah kamar rumah sakit. Di kamar itu hanya ada satu jendela. Adi yang menderita penyakit paru-paru kronis menempati ranjang dekat jendela. Setiap siang ia boleh duduk satu jam untuk mengeringkan cairan dari paru-parunya. Sementara Joni penghuni ranjang lain, harus berbaring sepanjang waktu akibat penyakit saraf punggung. Setiap hari mereka saling menghibur dengan bertukar cerita serta pengalaman hidupnya masing-masing.

Setiap kali Adi duduk menghadap jendela, ia selalu menceritakan apa saja yang dilihatnya di luar sana kepada rekan sekamarnya. Bahwa jendela itu menghadap taman di tepi danau. Air danau yang jernih itu sesekali berpendar-pendar indah lantaran gerakan kaki-kaki kawanan angsa yang berenang hilir mudik. Sambil memejamkan matanya Joni membayangkan betapa indahnya pemandangan itu. Setiap hari cerita selalu berganti-ganti, sehingga Joni amat terhibur. Meski hanya satu jam, semua itu mampu memperkaya batinnya. Tiba-tiba pikiran jahat melintas di benak Joni. Mengapa hanya temannya saja yang boleh melihat indahnya dunia, sementara dirinya tergolek tak berdaya. Ini tidak adil!

Sejak saat itu hari demi hari pikiran Joni dihantui rasa iri. Ia bertekad suatu saat harus berada di dekat jendela. Malam itu Adi batuk-batuk. Cairan bercampur darah keluar dari mulut dan hidungnya. Napasnya terengah menahan sakit. Di keremangan malam, Joni melirik betapa sang teman sedang bertarung melawan maut. Toh, si Joni tak tergerak sedikit pun meraih tombol belnya untuk memanggil perawat. Padahal, ia bisa melakukan. Tidak sampai lima menit, bunyi batuk-batuk hilang. Suasana kamar yang gelap itu senyap.

Pagi hari, perawat terkejut mendapati Adi sudah tak bernyawa. Joni kemudian minta ranjangnya dipindahkan ke dekat jendela. Siang itu, sambil menahan separuh badannya dengan siku Joni berusaha mendongakkan kepala menengok ke jendela. Keinginannya tercapai, melihat dunia luar yang selama ini hanya dibayangkan. Apa yang tampak? Ternyata hanya sebidang tembok lusuh. Penasaran ia bertanya kepada perawat, mengapa Adi bisa mereka-reka aneka macam cerita dari jendela ini. “Bapak tahu enggak? Sesungguhnya, Pak Adi itu buta. Barangkali ia sengaja melakukan itu untuk menghibur Anda.” (Intisari)