Penulis
Intisari-Online.com – Fernando, sebut saja begitu, boleh dibilang sudah jadi orang. Di usianya yang mendekati kepala lima ia duduk sebagai vice president sebuah perusahaan multinasional ternama yang bermarkas di kota besar. Di rumahnya yang megah di kawasan elite, Fernando hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya.
Suatu kali Fernando merasa sangat rindu kepada ibundanya yang hanya tinggal bersama seorang pembantu di kampung halaman. Ketika rasa kangen sudah tak tertahankan, ia pun pulang ke kampung untuk menemui sang ibu tercinta.
Melihat anak kesayangannya muncul di hadapannya, sang ibu tak bisa menahan haru. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Keduanya lalu saling menumpahkan rasa rindu. Mereka duduk di teras rumah sambil menikmati penganan dan minum teh. Ketika mereka sedang asyik mengobrol ke sana kemari, terdengarlah suara berkoak-koak seekor burung gagak yang bertengger di dahan pohon depan rumah.
Sang ibu pun bertanya, “Apa itu, Nak?”
“Burung gagak!” kata Fernando.
Burung itu masih terus berkoak.
“Apa itu, Nak?” ibunya bertanya lagi.
“Burung gagak, Bu!!” jawab Fernando dengan volume suara lebih keras.
“Apa itu, Nak?” kembali ibunya bertanya.
“Buuu, itu burung gagak!!!” kata Fernando dengan nada setengah membentak.
Burung itu berpindah dahan tempat berpijak dan masih saja berkoak.
“Apa itu, Nak?” tanya ibunya tetap dengan nada tenang seperti sebelumnya.
“Apa Ibu sudah tuli?! Sudah berapa kali aku bilang, itu burung gagak!!!!” bentak Fernando dengan nada marah.
Lalu ibunya masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian sang ibu keluar lagi menemui Fernando sambil membawa sebuah buku harian yang sudah agak kumal. Dibukanya buku harian itu, lalu disodorkannya kepada Fernando untuk dibaca. Bunyi catatan itu begini,” Ketika Fernando berusia empat tahun, aku mengajaknya berjalan-jalan. Lalu terdengar suara burung gagak. Ia bertanya kepadaku, ‘Apa itu, Bu?’, ‘Burung gagak, Nak!’ Ia mengajukan pertanyaan yang sama sebanyak 40 kali, dan kujawab dengan sabar sebanyak 40 kali juga.” (Intisari)