Bahagia Itu Pilihan

Novani Nugrahani

Penulis

Bahagia Itu Pilihan

Intisari-Online.com - Seorang sahabat belum lama ini melahirkan putra pertamanya. Saya dan beberapa kawan lain datang menjenguk ke rumah sakit sambil membawa bingkisan berbalut kertas kado biru muda. Begitu kami masuk ke ruang inap tempat sahabat kami dirawat, senyumnya mengembang melihat kedatangan kami.

Setelah sedikit bercakap-cakap, masuklah beberapa sanak saudara sahabat saya itu yang juga datang untuk menjenguk. Dari seorang ibu berkerudung merah dadu, terlontarlah ucapan selamat yang terdengar klise ini, “Selamat ya. Semoga putranya kelak tumbuh menjadi anak yang sholeh dan dapat membahagiakan kedua orangtua.”

Saya tertegun. Kalimat sederhana ini memang sekilas terdengar penuh harapan dan rasa bahagia, tapi seperti ada yang mengganjal bagi saya. Apa betul kebahagiaan setiap orang hanya bisa bergantung pada kebahagiaan orang lain? Saya ragu.

Membahagiakan orang lain, apalagi orang-orang yang kita sayangi memang bisa membuat diri sendiri bahagia. Namun, bagaimana jika orang-orang tersebut suatu saat pergi dan mungkin tak kembali? Apakah kebahagiaan tak akan bisa lagi kita temukan dalam diri kita sendiri? Saya lebih ingin percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab diri kita masing-masing. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat personal. Kebahagiaan adalah suatu keputusan, seperti saat kita memutuskan akan melangkah ke kanan atau ke kiri.

Maka, saat ada orang yang bertanya, “Apa rahasiamu untuk menjadi bahagia?”Tidak ada rahasia. Bahagia itu cuma rasa yang akan ada saat kita memutuskannya untuk ada. Bukan pada orang lain, tapi di diri kita.

Di sini, di dalam dada.