Penulis
Intisari-Online.com – Pada suatu kesempatan, saya duduk berhadapan dengan sahabat saya. Saat itu sang sahabat ingin menceritakan pengalaman, kegelisahan, dan masalah-masalahnya. Seharusnya, saat itu saya hanya ‘bertugas’ untuk mendengarkannya. Membiarkan ia bercerita hingga selesai, dan mungkin saya tidak perlu berkomentar apa pun. Saya memang tidak menanggapi ceritanya dan tidak berkomentar apa pun, tapi saya hanya tersenyum geli mendengar kisahnya. Namun,rupanya yang saya lakukan itu bagi sahabat saya dianggap menertawakannya. Kami malahan bersitegang setelahnya.
Mendengarkan adalah sesuatu yang amat sulit, seperti ditulis Henri J.M. Nouwen dalam bukunya, Bread for the Journey. Untuk dapat mendengarkan, dari kita dituntut suatu keyakinan batin bahwa kita tidak perlu lagi membuktikan kemampuan diri kita dengan berbicara, berargumentasi, atau dengan membuat pernyataan.
Orang-orang yang mampu mendengarkan mempunyai kemantapan batin sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan pengakuan akan kehadiran mereka. Mereka bebas sehingga dapat mendengarkan, menerima, dan membiarkan orang lain masuk.
Mendengarkan bukan sekadar berarti membiarkan orang lain berbicara, sambil menunggu kesempatan untuk menjawab atau menanggapi. Mendengarkan adalah memberikan perhatian penuh kepada orang lain dan menerima mereka serta membiarkan mereka masuk ke dalam pribadi kita. Dengan sikap mendengarkan seperti itu, orang lain yang didengarkan mulai merasa diterima, menyadari makin mendalam kata-kata yang diucapkannya dan menemukan diri mereka yang sejati. Mendengarkan adalah sebentuk keramahan rohani. Dengan sikap itu, kita mengundang orang asing untuk menjadi sahabat, mendorong mereka untuk mengenali diri pribadi mereka secara lebih penuh, dan bahkan lalu berani diam bersama kita.