Find Us On Social Media :

Setetes Keuletan: Memindahkan Sungai

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 16 Juni 2012 | 09:00 WIB

Setetes Keuletan: Memindahkan Sungai

Intisari-Online.com – Alkisah, di sebuah desa yang terletak di atas bukit, seluruh kehidupan sedang dilanda musim kering yang panjang. Sudah menginjak tahun keenam ini tidak ada setetes air hujan pun yang menetes di desa itu. Suasana desa terasa sedih, putus asa, dan merana. Wajah-wajah tanpa semangat, persis seseorang yang tak pernah mandi atau cuci muka selama 7 hari 7 malam.

Di pinggiran desa tersebut, tinggal seorang lelaki setengah baya yang punya tiga anak pria dewasa. Namun, semuanya memiliki sifat pemalas, tak pernah mau mencari pekerjaan. Mereka selalu mengemukakan alasan: 'kan susah mendapat pekerjaan di musim kering seperti ini. Mereka tidak pernah memperdulikan semua nasihat sang ayah. Mereka lebih suka melamun dan tidur dalam menghabiskan hari-hari mereka.

Lelaki setengah baya itu teringat, di masa mudanya ia sering mengembara di bukit-bukit desanya sampai ke seberang gunung. Ia ingat, di belakang bukit yang mengelilingi desa itu, ada sebuah desa yang sangat subur. Mengapa? Karena di sana mengalirlah sungai yang tak pernah kering. Andai ada yang mampu memindahkan gunung dan mengubah sedikit saja aliran sungai menuju desanya yang kekeringan, maka desanya itu bakal memiliki air cukup, dan tak akan lagi kekeringan.

Namun, di desa itu tak seorang pun yang berani berpikir untuk memindahkan sang gunung. Semua menganggap tidak mungkin terjadi, tidak mungkin. Menariknya, lelaki setengah baya yang tinggal di pinggiran desa tadi akhirnya terpanggil untuk menyelesaikan tantangan yang tidak mungkin itu. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan, katanya dalam hati.

Suatu hari, mengiringi fajar menyingsing, sang lelaki menyingsingkan lengan bajunya, membulatkan tekadnya. Ia mengambil cangkul dan mulai berjalan dengan gagah ke arah gunung tersebut. Mulailah ia bekerja keras dan tak kenal lelah mencangkul dan mencangkul dari subuh hingga matahari tenggelam.

Setelah seminggu ia bekerja, akhirnya anak-anaknya pun mulai memperhatikan ulah sang ayah. Mereka mulai mempertanyakan apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Ketika sayang ayah menceritakan ia ingin memindahkan gunung, ketiga anaknya pun tertawa terbahak-bahak. Mereka menganggap ayahnya gila, dan malu melakukan hal yang tak mungkin. Sang ayah terdiam saja tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya dari hari ke hari.

Sebulan kemudian, cerita ini pun menyebar ke seluruh desa. Sang lelaki itu kini malah dijuluki ‘si gila’ oleh semua warga desa. Ketiga anak lelaki itu lama-lama malu juga dengan olokan warga desa kalau ayahnya ‘gila’. Akhirnya suatu hari mereka memutuskan untuk membantu ayahnya, sebab katanya: ayah kita tidak gila, idenya saja yang gila, tapi tampaknya bukan mustahil. Sejak saat itu, ketiga anak lelaki itu selalu ikut bersama dengan ayah mereka, mencangkul, membuat sebuah terowongan melalui lembah gunung menuju sumber air di desa tetangganya. Mereka berangkat subuh dan bekerja hingga matahari tenggelam.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, mereka tetap bekerja dengan sangat keras dan tekun. Sampai suatu hari, warga desa pun mulai melihat sebuah terowongan terbuka lebar di gunung desanya. Wah mereka baru mulai sadar dan tanpa malu-malu mereka mulai mempunyai harapan nyata, tak lama lagi desa mereka akan mendapat air dari desa tetangga di balik bukit itu. Maka dengan harapan itu, mulailah satu demi satu, dan akhirnya seluruh warga desa ikut bergabung untuk membantu mencangkul dan mencangkul dengan penuh semangat. Tepat setahun lebih sebulan, terowongan itu mencapai sumber air di desa tetangga dan mulai dapat mengalirkan airnya melalui terowongan yang mereka buat melewati gunung itu. Sejak itulah warga desa tak pernah lagi kekeringan, penduduk mendapatkan air untuk tanah pertaniannya, untuk hewan piaraannya, bahkan untuk mandi dan mencuci.

Seperti kata bijak dari Zig Ziglar, “Kita bisa mengalahkan orang pintar, namun kita sulit mengalahkan orang yang ulet.” (Pak, Bangunkan Aku Ya Pak!!)