Alhamdulillah Hujan

Leo Wahyudi S

Penulis

Alhamdulillah Hujan

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),musim hujan mencapai kulminasinya di bulan Januari dan Februari 2013. Berita banjir tersiar. Banyak tempat tergenang, tersapu, bahkan ada yang menggondol korban jiwa. Banyak petani gagal panen karena tanaman yang siap panen tiba-tiba terendam. Nelayan pun kehilangan tangkapan lantaran laut yang tak bersahabat cuacanya. Berita-berita itu seolah mengabarkan bahwa musim hujan diwacanakan sebagai musibah. Bukan sebagai berkah.

Bagi negeri beriklim tropis seperti Indonesia, hanya ada dua musim, kemarau dan penghujan. Musim basah dan musim kering. Keduanya menjadi anugerah alam yang sangat pantas disyukuri. Ketika lama tak datang, kedua musim dinanti lewat untaian doa pengharapan tak kunjung putus. Ketika kedua musim itu lama tak berganti, giliran ceracau dan sumpah serapah pun bertebaran. Kedua hal ini seolah sudah menjadi ritual dan kebiasaan yang tak terhindarkan.

Tak usah jauh-jauh mencari contoh. Seringkali tanpa kita sadari, kita pun menjalankan kedua ritual tersebut. Saat cuaca panas menyengat, betapa kita merindukan suasana segar di musim penghujan. Saat hujan turun tak ada henti, kita hanya berpikir kapan matahari akan memberi kehangatan. Kita banyak kali mendengar orang mengumpat gara-gara kepanasan atau kehujanan. Seolah kedatangan cuaca panas dan dingin menjadi penghalang.

Orang berkendara sepeda motor spontan mengatakan, “Sialan, hujan sepanjang perjalanan. Baju jadi kotor!” Atau, “Yah, hujan. Enggak bisa pergi deh,” kata pejalan kaki. Orang bermobil mewah pun akan mengeluh, “Wah, hujan bikin jalanan macet nih.” Sementara pemukim di daerah kumuh di kota besar juga ikut mengumpat, “Banjir lagi! Kapan sih kita aman dari banjir?!” Hujan, entah gerimis atau lebat, selalu mengundang kekecewaan spontan. Jatuhnya air hujan serasa membuat roda kehidupan berhenti berputar.

Mindset saya pun sudah makin terbentuk dengan ritual-ritual kekecewaan itu. Sampai pada suatu hari saya terhenyak. “Alhamdulillah, hujan,” ungkap seorang teman yang sedang mengobrol ringan di sebuah teras bersama saya. Padahal teman itu sebentar kemudian akan pulang ke rumahnya yang cukup jauh di bagian selatan Jakarta.

Usianya sudah 40 tahun lebih. Ia mengaku sudah lebih dari 20 tahunan ia mengungkapkan kata syukur Alhamdulillah setiap kali hujan. Sahabat itu teringat pengalamannya waktu kuliah. Kala itu, dia kehujanan saat akan berangkat kuliah di Yogyakarta. Fotokopi bahan kuliah untuk ujian hari itu basah kehujanan. Sumpah serapah pun lancar mengalir dari mulutnya.

Sahabat itu lalu memutuskan untuk berteduh secepatnya di sebuah gubuk di sebuah sawah. Ia ditemani seorang petani tua, yang ternyata pemilik gubuk kecil itu. Di tengah rinai hujan, petani itu berkisah betapa dia bersyukur karena doanya semalaman telah dikabulkan. Dia minta hujan, dan datanglah hujan pagi itu. "Syukur Alhamdulilah, Mas doa saya didengar Tuhan. Saya minta hujan. Kalau sampai tidak hujan, tanaman saya akan kering. Kalau tanaman mati, bagaimana saya mau memberi makan ke anak dan istri saya."

Sahabat saya tertegun. Laksana malaikat, petani tua itu menyadarkan sahabat saya. “Sejak pengalaman itu, kalau hujan aku tidak mengumpat lagi. Justru aku mengucapkan ‘Alhamdullilah’," kata sahabat saya.

Saya pun akhirnya tertular virus syukur itu, entah saat panas terik, entah ketika hujan lebat. Saya hanya merenung bahwa semua yang ada di dunia, segala ciptaan, termasuk alam, cuaca, iklim, adalah anugerah Tuhan. Semua baik adanya. Semua ada maksudnya. Tidak sepantasnya kita mengumpat dan menghujat segala anugerahNya yang baik.