Penulis
Intisari-Online.com – Kisah dua bersaudara yang tinggal di bersebelahan. Mereka jatuh ke dalam pertengkaran. Ini adalah keretakan serius pertama dalam 40 tahun setelah hidup berdampingan, menggunakan mesin dan tenaga kerja saling berbagi.
Dimulai dari kesalahpahaman kecil dan tumbuh menjadi sebuah perbedaan besar, hingga akhirnya meledak menjadi saling memberikan kata-kata pahit dan kemudian saling mendiamkan.
Suatu pagi ada ketukan di pintu rumah sang kakak. Ia membukanya dan menemukan seorang pria dengan kotak alat tukang kayu.
“Saya mencari pekerjaan untuk beberapa hari.” Katanya, “Mungkin Anda punya pekerjaan kecil yang bisa saya bantu?”
“Ya,” kata Kakak. “Saya punya pekerjaan untuk Anda. Lihat sungai di peternakan itu. Itu tetangga saya, bahkan, ia adik saya. Minggu lalu ada padang rumput di antara tempat tinggal kami, lalu dia membuat sungai di antara kami. Ia melakukannya ini untuk saya.”
“Lihat tumpukan kayu di gudang? Saya ingin Anda membangun pagar setinggi dua meter. Jadi saya tidak perlu melihat wajahnya lagi.”
Tukang kayu berkata, “Saya rasa saya mengerti situasinya. Tunjukkan saya paku dan palunya. Saya bisa melakukan pekerjaan ini dan akan menyenangkan Anda.”
Sang kakak harus pergi ke kota, sehingga ia hanya membantu menyiapkan barang-barang yang akan digunakan tukang kayu. Lalu ia pergi.
Tukang kayu bekerja sepanjang hari untuk pengukuran, menggergaji, memaku, dan seterusnya. Saat matahari terbenam ketika sang kakak kembali, tukang kayu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Mata petani itu terbuka lebar, rahangnya menurun. Tidak ada pagar sama sekali. Yang ada hanyalah jembatan – jembatan yang membentang dari satu sisi sungai ke sisi lainnya. Tetangga, yang adiknya, datang ke arah mereka, dengan lengan terentang. “Ternyata engkau membangun jembatan ini setelah semua yang saya katakan dan lakukan padamu, Kak.”
Dua bersaudara itu berdiri di setiap ujung jembatan, kemudian mereka berlari bertemu di tengah, saling bersalaman dan berpelukan. Mereka berbalik melihat tukang kayu memanggul kotak peralatan ke bahunya.
“Tidak, tunggu! Tinggallah beberapa hari. Aku punya banyak proyek lain untukmu,” kata sang kakak.
“Aku ingin tinggal,” kata tukang kayu. “Tapi aku punya lebih banyak jembatan yang harus aku bangun.” (*)