Penulis
Intisari-Online.com - Di antara kumpulan para burung camar, Traktal adalah yang paling gemilang. Kemampuan terbang yang memukau, bulu putihnya yang menawan, serta cara pendaratan yang kerap mencuri perhatian. Dengan superioritasnya tersebut, Traktal mempunyai pengikut setia, Larvik, yang kerjanya hanya mengekor.
Pada masanya, Traktal mempunyai mantra yang mampu menyihir camar-camar lain. “Terkutuklah tanah dan laut. Laut lebih luas dari pada nafas. Nafas adalah hukuman. Laut, laut! Maka itulah keserakahan,” demikianlah mantra yang sering dia uarkan kepada kawan-kawannya.
Tapi kini Traktal sudah tua. Bulu-bulu yang putih sudah mulai terlihat kehitam-hitaman. Meski demikian, Traktal tetaplah Traktal yang pongah dan arogan. Suatu ketika dia ingin kembali memamerkan kemampuannya tersebut. Tapi apa lacur, alih-alih kepincut, camar-camar yang dulu dikangkanginya itu sekarang sudah tua dan tidak peduli dengan kelihaian Traktal. Mereka tak acuh dan beberapa bahkan menertawakannya.
Tentu saja ini ini diluar perkiraan Traktal. Karena sifatnya yang keras kepala, Traktal tidak gentar. Dicarinya gerombolan camar yang berada di tempat lain. Lagi-lagi Traktal harus menelan kekecewaannya. Gerombolan baru itu bahkan tidak peduli dengan kedatangannya alih-alih kelihaiannya. Oleh karena itu, Traktal memilih untuk bengong dan meratapi nasib.
Akhirnya, Traktal tersadar dan tertawa sendirian. Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, hidup bukanlah pasar malam yang di kala datang beramai-ramai dan pulang beramai-ramai. Traktal pun saat ini telah sadar dan merasakan kesunyiannya. Saat muda dia dipuja, tapi kini dia terlunta-lunta.
Apakah kita mau meniru Traktal? (Jangan Lupa Mengelus Singa)