Pengorbanan Seorang Adik

Agus Surono

Penulis

Pengorbanan Seorang Adik

Intisari-Online.com - Sebut saja namaku Mira (bukan nama sebenarnya), aku dilahirkan di sebuah desa terpencil di pulau Sumatra. Aku memiliki adik laki-laki bernama Dudi (bukan nama sebenarnya). Usianya terpaut lima tahun denganku. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Bapak dan Ibu kami menggarap beberapa petak sawah yang mereka miliki. Maka tak jarang kami mengalami kesulitan dalam hal ekonomi.

Hingga suatu ketika aku terpaksa mencuri beberapa rupiah uang Bapakku untuk membeli sesuatu yang sangat aku inginkan. Sialnya Bapak segera menyadarinya dan kemudian memanggil kami berdua untuk memastikan siapa yang mencuri uang tersebut. Bapak membuat kami sangat ketakutan karena ia membawa sebuah rotan kecil untuk memukul kami.

"Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, sehingga ia siap memukulkan rotannya pada kami berdua.

Namun tiba-tiba adikku berteriak, “Aku yang mencuri uang itu Pak,” Rotan itu pun beberapa kali menghantam tangan adikku. Adikku berteriak kesakitan dan menangis. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul, kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, Ibu dan aku memeluk adikku. Tangannya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,“Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 10 tahun Aku berusia 15. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten, sementara aku diterima masuk perguruan tinggi.

Namun masalah kembali muncul. Bapak dan Ibu mulai mengeluh dengan biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya. “Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan bapak dan berkata, “Pak, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, saya telah cukup membaca banyak buku.”

Bapak menampar adikku. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemah? Apa pun akan Bapak lakukan, bahkan jika itu harus mengemis di jalan sekalipun!"

Kembali aku hanya bisa mengusap tangan selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak. “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak kamu tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini,” ucapku lemah. Saat itu aku telah memutuskan dalam hati untuk tidak meneruskan ke perguruan tinggi.

Namun, siapa sangka jika keesokan harinya, sebelum subuh datang adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh. Secarik kertas ditinggalkan di dekat bantalku. “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.” Begitu tulisan di kertas itu. Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran, sampai akhirnya suaraku hilang.

Sampai akhirnya aku menikah dan suamiku mendapat promosi menjadi seorang pimpinan, adikku masih menjadi seorang buruh. Ia juga menolak ketika suamiku mengajaknya bekerja di perusahaan untuk menjadi asistennya. “Kak, aku ini tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk menjadi asisten. Apa jadinya nanti perusahaan yang suami kakak pimpin. Aku tak ingin melihat kakak justru menjadi hancur akibat kebodohanku. Biarlah aku tetap menjadi seorang buruh,” berlinang air mataku ketika mendengar itu.

“Lalu dengan apa aku harus membalas semua kebaikanmu?

“Dengan menjaga nama baik suami kakak dan keluarganya.”

Sampai akhirnya aku mendengar kabar bahwa adikku sakit, dan aku bergegas pulang kampung untuk menjenguknya. Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, kaki, dan tangannya yang terbungkus gips akibat tertimpa reruntuhan konstruksi, seratus jarum terasa menusukku dan kembali air mata ini mengalir dengan deras. Namun adikku masih tetap tersenyum di antara bibirnya yang semakin memucat.

“Kakak tak perlu menangis. Justru aku yang seharusnya bersedih, karena aku belum berhasil menuntaskan apa yang menjadi keinginanku.”

Aku termangu. Selanjutnya dari bibirnnya meluncur sebuah cerita masa kecil yang aku sendiri tak lagi mengingatnya. Saat aku duduk di bangku SMP dan ia di bangku SD, kami selalu berangkat sekolah bersama. Butuh satu jam untuk mencapai sekolah. Ia mengingatkan aku kembali saat aku harus menggendongnya selama satu jam itu untuk sampai di rumah.

“Masih ingat Kak, ketika kakiku terluka dan Kakak harus menggendongku saat pulang. Sampai kakak tak sanggup lagi berdiri. Sejak saat itu aku berjanji, untuk selalu menjaga kakak dan membahagiakan kakak selama aku masih hidup.”

Dua hari kemudian, ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Aku masih teringat kata-katanya bahwa ia takut tak akan bisa lagi membahagiakan aku jika ia telah tiada. Di hadapan pusaranya air mata ini kembali mengalir dengan deras.

“Aku bahagia Dud, aku bahagia memiliki adik sepertimu, yang begitu banyak berkorban untukku, sementara aku cuma bisa memberikanmu air mata dan doa. Semoga engkau berbahagia di sana.” (BMSPS)