Berpikir Positif pada Orang Lain

K. Tatik Wardayati

Penulis

Berpikir Positif pada Orang Lain

Intisari-Online.com – Kisah ini bermula dari seorang murid yang setia dalam menempuh berbagai jalan dalam menuntut ilmu.

Setelah sekian lama si murid berjuang demi mencapai tingkat akademik yang lebih tinggi, tiba akhirnya Sang Guru memberikan ujian terakhir. Jika si murid bisa menjawab pertanyaan yang akan diberikannya, ia akan dinyatakan lulus dan harus pergi untuk mengamalkan segala ilmu yang telah dimilikinya.

Sang Guru yang tampak arif dan bijaksana bertanya kepada murid kesayangannya.

“Muridku, hari ini aku akan memberimu satu pertanyaan dan aku harap kamu bisa menjawabnya dengan tepat,” kata Sang Guru.

“Baik Guru, apa pertanyaannya?”

“Kamu akan aku beri waktu selama 3 hari untuk mencari makhluk yang dalam pandanganmu sangat buruk.”

Dengan penuh percaya diri si murid pun pergi meninggalkan gurunya untuk merenung dan mencari jawaban yang diberikan oleh Sang Guru tadi.

Pada hari pertama, si murid bertemu dengan orang yang gemar berjudi, mabuk-mabukan yang hampir setiap hari tidak pernah berdoa kepada Tuhan.

Maka terbesitlah dalam hatinya, “Mungkin orang ini lebih buruk dari aku karena dia berbuat maksiat sedangkan aku tergolong ahli ibadat.”

Maka pulanglah si murid ke rumahnya. Sampai di rumah ia berpikir, apakah benar ia lebih baik dari penjudi dan pemabuk yang dijumpainya tadi? Lantas si murid menyadari, bahwa manusia bukanlah robot yang bisa diprogram dengan satu tingkah laku yang tidak pernah bisa berubah. Manusia adalah makhluk yang dikarunia akal dan pikiran dan diberi kesempatan untuk bertobat kepada Tuhan.

Maka si murid pun menyimpulkan bahwa dirinya tidak lebih baik dari pemabuk dan penjudi itu selagi masih menjalani hidup di dunia yang penuh dengan cobaan ini. Karena, boleh jadi seorang yang larut dalam dosa-dosa yang melimpah lantas bertobat dan mengakhiri hidupnya dengan akhir yang indah lagi sempurna. Ia akan lebih baik dari seorang ahli ibadah yang tidak pernah ikhlas dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhan.

Pada hari kedua, si murid keluar rumah lagi dan menjumpai seekor anjing jelek buruk rupa dan penyakitan. Si murid bergumam, “Mungkin anjing inilah makhluk yang lebih buruk dari aku di dunia ini.” Dengan semangat si murid merasa mempunyai jawaban untuk pertanyaan gurunya itu. Ia pun kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, si murid mulai merenung kembali, “Seekor anjing walaupun buruk rupa dan penyakitan, ia tidak lebih buruk dari aku. Karena ketika tiba hari akhir seekor anjing tidak akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah, sedangkan aku akan dimintai pertanggungjawaban. Jika aku tidak bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan selama di dunia ini maka hancur dan habislah diriku. Sungguh, aku tidak lebih baik dari anjing itu.”

Pada hari ketiga akhirnya si murid menghadap Sang Guru. Maka bertanyalah Sang Guru, “Sudahkah kamu menemukan jawaban dari pertanyaanku, muridku?”

“Sudah, Guru,” jawab si murid. “Ternyata makhluk yang paling buruk adalah saya, Guru.”

Sang Guru mengangguk dan tersenyum, “Kamu telah berhasil muridku. Kamu lulus.”

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Seseorang tidak berhak menganggap dirinya paling suci dan paling beriman dari orang lain. Karena hanya Tuhanlah yang bisa menilai keikhlasan iman dan pelayanan seseorang. Seringkali kesombongan yang ada dalam diri seseorang akan menghancurkan dirinya sendiri.

Maka, selama kita masih sama-sama menjalani hidup di dunia ini, mulailah belajar berpikir positif terhadap orang lain. (*)