Kisah Tiga Karung Beras

K. Tatik Wardayati

Penulis

Kisah Tiga Karung Beras

Intisari-Online.com – Kisah ini mungkin pernah kita baca di situs lain, tapi tak ada salahnya mengingatkan kita kembali akan kasih Ibu yang tak akan ada habisnya untuk anak yang dikasihinya.

Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak. Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja di sawah. Di sekolahnya, setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kilogram beras untuk kantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kilogram beras tersebut. Ia kemudian berkata kepada ibunya: “Bu, saya mau berhenti sekolah dan membantu Ibu bekerja di sawah”. Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata, “Kamu memiliki niat seperti itu ibu sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau ibu sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergilah mendaftar ke sekolah, nanti berasnya ibu yang akan bawa ke sana”. Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan ke sekolah, ibunya sampai menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh ibunya. Anak itu pun akhirnya pergi ke sekolah. Ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang ke kantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata, ”Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, ini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran?” Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut. Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk ke dalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata, “Masih dengan beras yang sama."Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata, “Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah, jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya." Sang ibu sedikit takut dan berkata, “Ibu pengawas, beras di rumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata, “Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam-macam jenis beras." Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi. Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata, “Kamu sebagai ibu kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu!." Dengan berlinang air mata ibu itu berlutut di depan pengawas dan berkata, “Maafkan saya, bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis." Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ibu itu akhirnya duduk di atas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak. Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: “Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan saja susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi.” Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi ke kampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali ke kampungnya sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke sekolah. Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata, “Bu, sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu.” Sang ibu buru-buru menolak dan berkata, “Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini.” Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kemudian, anak tersebut pun lulus masuk ke perguruan tinggi terkenal di kotanya.

Di hari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk di atas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras. Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju ke depan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata, “Inilah sang ibu dalam cerita tadi.” Ia mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar. Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke belakang dan melihat gurunya menuntun ibunya berjalan ke atas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan ibu yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat ibunya dan berkata, “Oh Ibuku……” Pepatah mengatakan, “Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan.” Inilah kasih seorang ibu yang terus dan terus memberi kepada anaknya tanpa mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang ibu demi menghidupi sang anak, bekerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya.