Find Us On Social Media :

Untuk Dibaca Ketika Kau Sendirian

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 3 September 2013 | 18:00 WIB

Untuk Dibaca Ketika Kau Sendirian

Intisari-Online.com – Kisah ini diceritakan oleh Mikael yang berusia 13 tahun.

Aku pindahan dari tanah seberang. Saat remaja, aku penuh amarah dan memberontak, tanpa pernah memperhatikan apa pun yang orangtuaku katakan, terutama jika ada hubungannya dengan diriku. Aku berjuang untuk melarikan diri dari apa pun yang tidak setuju dengan diriku. Bahkan, aku marah pada kata "cinta".

Suatu malam, setelah hari yang sangat sulit, aku bergegas ke kamar. Menutup pintu dan naik ke tempat tidur. Sambil berbaring di tempat tidur, tanganku menyelinap di bawah bantal. Ada amplop. Aku menariknya keluar dan di amplop itu terdapat tulisan, “Untuk dibaca ketika kau sendirian.”

Karena aku sendirian, tak seorang pun akan tahu apakah aku membacanya atau tidak, jadi aku membukanya. Tertulis di lembaran dalam amplop itu, “Mikael, aku tahu hidup itu sulit sekarang, aku tahu kau frustasi dan aku tahu kita tidak melakukan segalanya dengan benar. Aku juga tahu bahwa aku mencintaimu sepenuhnya dan apa pun yang kau lakukan atau katakan tidak akan mengubah itu. Aku di sini jika kau merasa perlu untuk bicara, jika pun tidak, tidak apa-apa. Hanya perlu kau tahu di mana pun kau pergi atau apa pun yang kau lakukan dalam hidupmu, aku akan mencintaimu dan bangga bahwa kau adalah anakku. Aku di sini untukmu dan aku mencintaimu. Yang tidak pernah berubah mencintaimu, Ibu.”

Itu beberapa kalimat yang aku ingat dari “Untuk dibaca ketika Kau sendirian.” Aku tidak pernah melihat orangtua membahasnya hingga aku dewasa.

Beberapa puluh tahun kemudian, hari ini, aku melakukan perjalanan keliling dunia membantu orang. Aku berada di suatu tempat, mengajar seminar, ketika seorang wanita datang kepada aku dan berbagi kesulitan yang dia alami dengan anaknya. Kami berjalan ke pantai, dan aku mengatakan kepadanya, soal cinta ibuku yang abadi dan tentang surat “Untuk dibaca ketika Kau sendirian”. Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kartu yang menyebutkan bahwa wanita itu telah menulis surat pertamanya dan meninggalkan untuk anaknya.

Malam itu, ketika aku pergi tidur, aku meletakkan tangan aku di bawah bantal dan lega setiap kali masih mendapati surat itu. Di tengah-tengah masa remaja yang penuh gejolak, aku merasa surat itu benar-benar memberikan jaminan bahwa aku tetap dicintai. Tepat sebelum tertidur aku berterima kasih kepada Tuhan bahwa ibuku tahu apa yang aku, seorang remaja pemarah, perlukan.

Hari ini ketika lautan kehidupan mendapatkan badai, aku tahu bahwa hanya di bawah bantal aku ada jaminan tenang bahwa cinta, konsistensi, taat, cinta tanpa syarat, dapat mengubah kehidupan. (Inspire)