Penulis
Intisari-Online.com - Kukuh, sebut saja begitu, sedang gundah. Istrinya yang sedang hamil delapan bulan terbaring di sebuah rumah sakit. Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidap istrinya.
Istri Kukuh sudah seminggu terbujur di ruang ICU. Panas tubuhnya sangat tinggi. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah layar monitor.
Suatu pagi Kukuh dipanggil oleh dokter yang merawat istrinya.
“Pak Kukuh, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu.”
“Mengapa dokter meminta izin saya? Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya,” Kukuh keheranan.
“Karena obat yang ini mahal Pak.”
“Memang harganya berapa dok?”
Dokter itu dengan mantap menjawab, “Dua belas juta rupiah sekali suntik. Dan sehari butuh tiga suntikan.”
Setelah menarik napas panjang Kukuh berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, Dok?”
Saat itu butiran air bening mengalir di pipi. Dengan suara bergetar Kukuh berkata, “Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan.”
“Pak Kukuh, kami sudah berusaha semampu kami. Bahkan telah meminta bantuan berbagai laboratorium. Namun penyakit istri Bapak belum bisa kami deteksi secara tepat. Kami harus sangat hati-hati dalam memberi obat karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan. Baiklah, kami akan coba satu kali lagi. Kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, Pak.” jawab dokter.
Setelah percakapan itu usai, Kukuh duduk di pojok ruang ICU. Dalam hati ia berdoa, “Ya Tuhanku ... aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-Mu, aku pun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas. Aku pun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan juga akan Engkau balas.
"Ya Tuhanku ... gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit istriku yang berkepanjangan. Tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk ya Tuhanku. Engkau Maha Tahu, bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk. Engkau pun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah kepada-Mu, ya, Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku, semudah Engkau mengatur miliaran planet di jagat raya ini.”
Ketika sedang berdoa itu, tiba-tiba terbersit dalam ingatan Kukuh akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, ia hidup dalam keluarga yang miskin papa di kampung. Sudah tiga bulan belum membayar biaya sekolah yang Rp25 per bulan. Akhirnya ia memberanikan diri mencuri uang ibunya, Rp125. Setelah melunasi SPP, sisa uang digunakan untuk jajan.
Saat ibunya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis. Sambil terbata ia berkata, “Pokoknya yang ngambil uangku kualat ... yang ngambil uangku kualat ....” Uang itu sebenarnya akan digunakan untuk membayar hutang. Mengetahui hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.
Usai berdoa Kukuh merenung, “Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah penyakit istri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.”
Setelah menarik nafas panjang Kukuh menelepon ibunya yang sedang menemani anak-anaknya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, Kukuh langsung bertanya kepada ibunya. “Bu, apakah Ibu ingat ketika kehilangan uang sebanyak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”
“Sampai kapan pun Ibu ingat Kuh. Kualat yang ngambil duit itu. Duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok, ya, tega-teganya diambil,” jawab ibu saya dari balik telepon.
Mendengar jawaban itu Kukuh menutup mata perlahan. Tanpa terasa kembali butiran air mata mengalir di pipi Kukuh. Sambil terbata ia berkata, “Ibu, kulo nyuwun ngapuro (Ibu saya minta maaf - Red.) ... yang ngambil uang itu saya, bu. Saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf ... saat pulang nanti saya akan sungkem sama ibu. Saya jahat telah tega sama ibu.”
Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon terdengar suara ibu Kukuh, “Ya Tuhan, pernyataanku aku cabut, yang ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia. Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Kukuh, kamu enggak usah pikirin dan doakan saja istrimu agar cepat sembuh.”
Setelah memastikan bahwa ibunya telah memaafkan, Kukuh mengakhiri percakapan dengan memohon doa dari ibunya. Sekitar satu jam kemudian dokter kembali memanggil Kukuh. Setibanya di ruangan, sambil mengulurkan tangan kepada Kukuh, sang dokter berkata, “Selamat Pak, penyakit istri Bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun. Setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.”
Kukuh terpaku mendengar kabar baik itu. Sambil menjabat erat tangan sang dokter ia berkata, “Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter.”
Kukuh meninggalkan ruangan dokter itu sambil berbisik dalam hati. “Ibu, terima kasih." (BMSPS)