Kantung Makan Siang

K. Tatik Wardayati

Penulis

Kantung Makan Siang

Intisari-Online.com – Aku meletakkan bawaanku pada kompartemen bagasi dan duduk di kursi yang tiket pesawat. Ini akan jadi penerbangan yang panjang buatku. “Aku senang punya banyak buku untuk dibaca, mungkin aku bisa tidur siang sebentar,” pikirku.

Tepat sebelum take-off, sejumlah tentara datang menyusuri lorong dan memenuhi semua kursi kosong, dan benar-benar mengelilingi aku. Aku memutuskan untuk memulai percakapan. “Kemana kalian akan pergi?” Aku bertanya pada prajurit yang duduk dekat denganku.

“Kami akan berada di sebuah tempat untuk pelatihan khusus, dan kemudian kami dikerahkan ke Irak,” katanya.

Setelah terbang selama sekitar satu jam, sebuah pengumuman menyatakan tersedia kantung makan siang dengan harga lima dolar. Ini untuk mengisi waktu beberapa jam sebelum kami sampai, aku memutuskan untuk membelinya.

Saat akan mengambil dompet, saya mendengar seorang prajurit berbicara dengan temannya ia berencana untuk membeli makan siang, “Tidak, tampaknya kalau hanya lima dolar isi makan siangnya tidak banyak, dan rasanya tidak seharga itu. Aku akan menunggu sampai kita mendarat saja.” Temannya pun setuju.

Aku melihat ke sekeliling prajurit lainnya. Tidak ada yang membeli makan siang. Aku pun berjalan ke bagian belakang pesawat dan menyerahkan pada pramugari lima puluh dolar. “Berikan makan siang pada mereka.” Pramugari itu meraih tanganku dan meremasnya erat. Matanya basah oleh air mata, ia berterimakasih padaku, “Anakku seorang prajurit di Irak, aku merasa Kau melakukannya untuk dia.”

Mengambil sepuluh kantung, ia menuju lorong tempat duduk para prajurit. Ia berhenti di kursiku dan bertanya, “Mana yang Anda sukai, sapi atau ayam?”

“Ayam,” jawabku sambil keheranan mengapa pramugari itu bertanya kepadaku.

Pramugari itu berbalik dan pergi ke bagian depan pesawat. Tak berapa lama ia kembali dengan membawa piring makan dari kelas pertama, “Ini berkat untuk Anda.”

Setelah selesai makan, aku pergi lagi ke belakang pesawat, menuju ruang istirahat. Seorang pria menghentikan saya.

“Saya melihat apa yang Anda lakukan. Saya ingin menjadi bagian dari itu. Ini, ambillah.” Ia menyerahkan dua puluh lima dolar.

Setelah kembali ke tempat duduk lagi, saya melihat Kapten keluar dari tempatnya, melihat angka-angka saat berjalan di lorong. Aku berharap ia tidak mencariku, tapi ia melihat angka di sisi saya. Ketika ia sampai ke baris tempatku duduk, ia berhenti, tersenyum, mengulurkan tangannya, dan berkata, “Saya ingin menjabat tangan Anda.”

Aku melepaskan sabuk pengaman, berdiri, dan memegang tangan Kapten. Dengan suara menggelegar ia berkata, “Aku adalah seorang prajurit dan seorang militer. Sekali, seseorang membelikan aku makan siang. Tindakan kebaikan itu tidak pernah saya lupakan.” Aku sangat malu ketika tepuk tangan terdengar dari semua penumpang.

Kemudian aku berjalan ke bagian depan pesawat sehingga bisa meluruskan kaki. Seorang pria yang duduk sekitar enam baris di depan saya mengulurkan tangannya, menggenggam erat tangan saya. Ia meninggalkan dua puluh lima dolar di telapak tanganku.

Ketika kami mendarat, saya mengumpulkan barang-barang saya. Menunggu giliran keluar di pintu pesawat, seseorang menghentikanku, memasukkan sesuatu ke dalam saku bajuku, berbalik, dan berjalan lagi pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Dua puluh lima dolar lagi!

Setelah memasuki terminal, saya melihat para prajurit berkumpul untuk melanjutkan perjalanan mereka. Aku berjalan ke arah mereka dan menyerahkan uang tujuh puluh lima dolar. “Ini buat kalian sekadar membeli sandwich. Tuhan memberkati kalian.”

Sepuluh pemuda meninggalkan tempat itu dan mereka merasakan cinta dan hormat dari sesama penumpang. Saat aku berjalan ke mobil, saya berdoa untuk keselamatan mereka. Para prajurit ini sudah memberikan semua yang mereka miliki untuk negara. Saya hanya bisa memberi mereka sedikit makanan. (inspire)