Penulis
Intisari-Online.com – Di sekolah tempat saya bekerja, sepanjang hari banyak deretan siswa yang keluar dari ruangan klinik. Kami membagikan es untuk anak-anak yang luka memar, lalu plester bila mengalami luka, dan simpati serta pelukan.Sebagai kepala sekolah, kantor saya berada di sebelah kanan pintu klinik, jadi saya sering mampir untuk mengulurkan tangan dan membantu mereka dengan memberikan pelukan.
Suatu pagi saya memberikan plester pada lutut seorang gadis kecil. Rambutnya pirang ikal, dan terlihat ia menggigil karena menggunakan blus tanpa lengan. Saya memakaikan baju hangat yang dibawanya. “Terima kasih sudah merawat saya,” bisiknya sambil naik ke pangkuan dan merangkulku.
Setelah itu saya teringat benjolan asing di bawah lengan saya. Kanker, jenis yang agresif menyebar, sudah tiga belas kali menginvasi kelenjar getah bening saya. Saya berpikir perlu tidaknya memberitahu siswa-siswi tentang diagnosa saya. Kata payudara tampak begitu sulit bila dikatakan dengan suara keras kepada mereka, dan kata kanker tampak begitu menakutkan.
Akhirnya saya memutuskan memberitahu pada mereka sendiri. Tidak mudah memang, tapi empati dan kepedulian saya lihat di wajah mereka saat saya jelaskan keputusan saya. Ketika saya memberi mereka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, sebagian besar dari mereka ingin tahu bagaimana mereka bisa membantu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya menginginkan surat-surat, gambar, dan doa terbaik dari mereka.
Saya berdiri di pintu keluar dan anak-anak berbaris keluar menyalami saya. Teman pirang kecil saya keluar dari barisan dan berlari memelukku. Lalu ia melangkah mundur untuk melihat wajah saya. “Jangan takut, Bu,” katanya sungguh-sungguh. “Saya tahu, kau akan kembali karena sekarang giliran kami merawat Anda.”
Tidak ada yang pernah bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Anak-anak mengirimkan buku cerita lucu saat saya menjalani kemoterapi pertama. Lalu sebuah video dari setiap kelas dengan nyanyian lekas sembuh pada kemoterapi berikutnya. Pada kemoterapi ketiga, sebuah kotak musik lembut diputarkan oleh perawat, di dalamnya mengalun lembut I Will Always Love You.
Saat saya di ruang isolasi di rumah sakit untuk transplantasi sumsum tulang pun, surat-surat dan gambar dari mereka terus berdatangan dan hampir menutupi seluruh dinding ruangan.
Kemudian anak-anak menggambar di atas kertas berwarna, memotongnya, dan menempel membuat pelangi di dalam ruangan kamar. “Saya seperti melangkah ke Disneyland setiap kali masuk ruangan ini,” kata dokter tertawa. Belum lagi sebatang pohon apel buatan tinggi yang ditempeli pesan-pesan kecil di tiap rantingnya dari murid-murid dan para guru.
Akhirnya saya cukup sehat untuk kembali bekerja. Saat berjalan menuju ke sekolah, tiba-tiba saya diliputi keraguan. Bagaimana bila anak-anak melupakan saya? Bagaimana bila mereka tidak menginginkan saya yang botak dan kurus Saya melihat tulisan di spanduk “Selamat datang kembali Bu..” Semakin mendekat, saya memandang pita merah muda di jendela, terikat pada gagang pintu, bahkan di atas pohon. Anak-anak dan para guru mengenakan pita merah muda juga.
Sahabat pirang kecil saya maju di baris pertama menyambut saya. “Anda kembali, Bu, benar-benar kembali!” Ia berteriak, “Lihat, aku sudah bilang ‘kan kalau kami akan menjagamu!”
Saat aku memeluknya erat-erat, samar-samar saya mendengar kotak musik saya memainkan lagu I Will Always Love You.