Bukalah Pikiran untuk Dunia Luar

K. Tatik Wardayati

Penulis

Bukalah Pikiran untuk Dunia Luar

Intisari-Online.com – Alkisah sebuah desa yang sederhana, kalau tidak mau dikatakan desa miskin. Penduduk laki-lakinya hidup dengan bekerja serabutan, sementara istri mereka hanyalah ibu rumah tangga biasa.

Tempat tinggal yang saling berdempetan satu sama lain membuat desa itu terasa sumpek. Belum lagi bila siang hari, jemuran baju di depan rumah menjadi pemandangan sehari-hari desa kecil di sebuah wilayah kota administrasi besar itu.

Banyaknya lahan yang dibangun untuk rumah-rumah kecil di desa itu membuatnya tidak ada lubang pembuangan air bila hujan turun. Akibatnya, setiap kali hujan turun, setiap kali pula desa itu akan terendam air. Dan bila demikian, maka penyakit musiman pun silih berganti di setiap penduduknya. Tidak dihindarkan pula, warga yang rentan akan penyakit ini, terutama orang tua, akan berujung pada kematian.

Dalam sebuah rapat pertemuan dengan warga, seorang penduduk pendatang, Tono, mengusulkan untuk mengadakan iuran kematian bagi warga penduduk desa tersebut. Ia berpikir karena kematian itu datangnya mendadak, tanpa direncanakan, mungkin saja keluarga yang tertimpa musibah sedang tidak memiliki tabungan untuk memakamkan keluarganya yang meninggal itu. Pada saat itu telah dijelaskan bahwa memang diperlukan sejumlah biaya yang tidak sedikit untuk memandikan, mendoakan, dan memakamkan orang meninggal.

Tono mendapatkan pemikiran tersebut, karena ia pernah tinggal di desa seberang yang mengadakan iuran kematian, lalu ia pun mempelajarinya. Kini ia berpikir kenapa tidak ia usulkan untuk desa tempat tinggalnya sekarang. Ternyata, tidak mudah mengusulkan suatu pemikiran yang baru kepada penduduk yang sebagian besar hanya bersekolah dasar.

“Tikus aja kalau mati kita kubur kok, masak ada orang meninggal tidak dikubur?” demikian sinisnya seorang warga menanggapi.

“Ya, tentu saja, orang meninggal pasti tetangganya pun akan membantu menguburkan,” jawab Tono, “Tapi persoalannya ‘kan bukan hanya itu saja, kita perlu orang yang khusus memandikan jenazah, mendoakan, lalu menggali kuburnya. Dan sejumlah biaya diperlukan bagi mereka.”

“Untuk setiap bulannya, iuran setiap keluarga hanya beberapa ribu rupiah. Tidak sebanyak biaya yang dikeluarkan untuk membeli rokok sebulan.”

Melalui rapat desa tersebut, hanya beberapa orang saja yang tidak setuju atas usul Tono. Tapi, rapat desa telah memutuskan bahwa akan diadakan iuran kematian bagi warga desa tersebut. Tak lama iuran berjalan, seorang warga meninggal dunia. Dan terbukti iuran kematian itu pun bermanfaat.

Memang tidak ada salahnya mempertimbangkan dan menerima pendapat orang lain, bukan? (*)