Penulis
Situ Gunung yang terletak di Kecamatan Kadudampit Sukabumi tak hanya menyajikan panorama alam dan situ yang indah. Namun juga jalur sepeda yang menantang.Saya menjajalnya selepas Lebaran. Sebagai titik start adalah Rakata Camping Ground yang masuk wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Untuk menuju ke sini harus masuk ke pintu gerbang Taman Objek Wisata Situ Gunung, lalu ambil belokan kiri menuju ke arah Situ Gunung. Tak jauh dari pintu gerbang, pada jalan yang menanjak, di sebelah kiri ada turunan dengan plang petunjuk menuju campsite Rakata, plus koordinat peta buminya.Menurut Isep Kurnia, yang akrab dipanggil Kang Isep, manajer operasi Rakata, ada banyak jalur sepeda di seputaran Situ Gunung ini. Bahkan kalau mau bisa mengelilingi Taman Nasional. Tentu dibutuhkan berhari-hari buat sepedaan mengelilingi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Konturnya tentu saja naik turun mengikuti punggungan bukit. Toh enaknya main sepedaan di pegunungan adalah tidak cepat haus karena dinginnya udara dan indahnya pemandangan.Dari ngobrol-ngobrol dengan Kang Isep akhirnya diputuskan untuk gowes ke perkampungan yang dijadikan desa wisata, lalu memutar dan menuju ke Situ Gunung. Dari Rakata ke Situ Gunung sendiri tidak jauh, tak lebih dari satu kilometer.Situ Gunung yang terletak di wilayah Sukabumi menjadi sasaran gowesku selepas Lebaran. Hampir sebulan "berpuasa" offroad, kali ini datang tawaran dari teman yang mau membuat liputan tentang wisata ekstrem, salah satunya bersepeda. Hayook aja ......Seusai bubaran kantor hari Jumat 17/9/2010, saya langsung meluncur ke tempat pertemuan di wilayah Cibadak Sukabumi. Istirahat semalam, esok pagi sekitar pukul 07.00 langsung berangkat ke Situ Gunung, tepatnya di bumi perkemahan Rakata. Lokasinya tak jauh dari pintu gerbang Taman Wisata Situ Gunung.Jalur yang akan kami jajal termasuk jalur baru sebab menurut Kang Isep dari Rakata, jarang yang bermain sepeda di wilayah Situ Gunung ini. Padahal, panorama yang disuguhkan kawasan ini amatlah menarik. Dari obrolan dengan Kang Isep, banyak hal yang bisa dijelajahi di seputaran Situ Gunung. Mulai dari perkampungan penduduk yang masih alami, hutan yang masuk Taman Nasional Gede - Pangrango, Situ Gunungnya sendiri, juga air terjun yang terletak tak jauh dari Situ. Berhubung untuk liputan wisata, maka kami pun memilih jalur yang - selain bisa melampiaskan hasrat ber-sepeda gunung di gunung - juga mengajak orang untuk kembali ke alam. Kembali ke kesederhanaan.Sekitar pukul 10.00 kami pun berangkat dari Rakata Camp Site dengan dipandu Kang Isep yang naik motor trailnya. Sebenarnya Kang Isep mau menemani dengan naik sepeda juga. Namun karena fotografer mau ngikut juga - yang tidak praktis kalau naik sepeda mengingat peralatan yang lumayan berat - akhirnya Kang Isep memboncengkan fotografer tadi dengan naik trail.Dari Rakata yang berketinggian sekitar 1.090 m kami merayap melalui jalan bebatuan yang di kalangan penggowes dikenal dengan jalan makadam. Udara segar dan bersih yang memasuki kerongkongan membuat tanjakan seperti tak berasa. Jalan makadam yang naik lalu turun ini akan berakhir di tanah lapang yang dijadikan tempat parkir bagi yang mau ke Situ Gunung. Untuk ke situnya harus melalui portal yang dijaga beberapa orang.Tujuan kami tidak ke Situ Gunung, tapi ke Kampung Cikaramat. Dari tempat parkir kamu memasuki jalan setapak tanah. Tak menanjak, tapi menurun. Harus hati-hati sebab jalan setapak cenderung licin saat kami melintas. Belum lagi dengan lubang bekas jalur motor yang bisa memerangkap roda sepeda. Jika sudah terjebak dan keseimbangan hilang, maka ada kemungkinan kita terjatuh.Turunan dengan pemandangan sekitar yang mempesona (persawahan, pemukiman penduduk, dan perkebunan bertingkat) membuat kita harus berhati-hati. Tak ada salahnya berhenti sambil menikmati dan mengabadikan momen yang tak setiap hari kita sua. Beruntung kami tidak bertemu hujan sebab menurut Kang Isep, mulai pukul 11.00 biasanya hujan turun.Mengikuti jalur setapak ini kita akan bertemu dengan sebuah warung. Kebetulan kami tidak membawa cadangan minuman sehingga kesempatan ini tak kami sia-siakan. Kampung Cikaramat ada di bawah warung ini. Untuk menuju ke kampung kami harus menuruni jalan yang sudah diperkeras dengan beton, menyusuri punggung bukit. Harus hati-hati dan perhatikan "kesehatan" rem sepeda. Salah satu sepeda dari rombongan bermasalah dengan rem belakangnya. Beruntung ia bisa membanting sepeda ke kanan dan menghajar tebing tanah. Sisa turunan terpaksa ia menuntun sepeda.Kampung Cikaramat merupakan kampung wisata sebab di sini ada beberapa rumah yang dijadikan rumah inap. Silakan saja jika tertarik untuk tinggal di pedesaan di tengah hamparan sawah. Hanya saja, tak ada listrik di sini. Beberapa rumah inap itu sudah melengkapi rumahnya dengan kelambu meski kata Kang Isep hampir tak ada nyamuk berkeliaran di kampung berketinggian 800-an m di atas permukaan laut ini. Ada sekitar 15 rumah yang siap menampung para tamu.Berbeda dengan desa wisata yang umumnya direkayasa - dalam arti selalu ada yang bisa dilihat - di Cikaramat berjalan seperti apa adanya. Tak ada lahan yang bisa dijadikan "tontonan". Jadi bisa saja Anda kecewa karena pas datang tidak bisa melakukan ritual membajak sawah sebab saat itu sudah masa panen. Atau sebaliknya. Namun, menurut Kang Isep hal itu dimaksudkan untuk memberi pesan bahwa sesuatu itu ada masanya. Begitu proses alam berjalan. Ada masa menanam, ada masa merawat, dan ada masa memanen.Sawah di Cikaramat mengandalkan irigasi yang sudah teratur. Sumber air dari sungai yang membelah perkampungan. Airnya jernih dan dingin. Sistem pertanian di sini masih alami. Tak menggunakan bantuan pupuk kimia. Setahun pun hanya melakukan dua kali tanam. Pada bulan September saat kami berkunjung bulir-bulir padi sudah mulai bermunculan. Di sela-sela mengerjakan sawahnya, para penduduk membunuh waktu dengan membuat kerajinan berupa anyaman bambu. Saat berkunjung bisa saja Anda minta diajari membuat perkakas dapur dari anyaman bambu.Selepas dari Cikaramat kami masuk ke kampung Babakan Sawah. Di sini listrik sudah mulai menerangi kampung sehingga terlihat lebih modern dibandingkan dengan Cikaramat. Beberapa ABG terlihat asyik main ponsel mereka. Suara knalpot motor pun memeriahkan kesunyian kampung. Berbeda dengan Cikaramat yang sunyi karena penduduknya sedikit, juga relatif terisolasi. Mengingatkan Kampung Naga di Tasikmalaya.Penikmat tanjakan akan bergembira saat di Kampung Babakan Sawah sebab jalan menanjak di sela-sela pohon bambu sudah diaspal. Meski bukan aspal mulus tapi sudah bisa digowes tanpa khawatir dengan lubang atau serakan batu yang menghambat kayuhan. Ada tanjakan tentu ada turunan. Begitulah, rolling pun membawa kami ke Kampung Ciboker. Inilah kampung perbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kali ini tanjakan yang terasa tak berujung menyapa kami.Di Kampung Ciboker kita bisa menyelami kehidupan masyarakat perbatasan. Tak ada sawah di sini sehingga penduduk mengandalkan hasil kebun atau beternak. Jalan setapak yang melewati kampung sebagian besar sudah dibeton. Begitu lepas dari batas desa kita akan bersua dengan pepohonan damar yang tinggi lurus menusuk langit. Di sela-sela pohon damar yang tingginya mencapai sekitar 50-an m itulah jalan setapak berbeton menanjak berkelak-kelok sebelum akhirnya menuju ke jalur utama ke Situ Gunung.Tanjakan tadi berbalas dengan turunan menuju Situ Gunung. Akan tetapi tidak selalu turunan itu enak buat pesepeda. Makanya, ada yang berpetuah: Tertawalah saat menanjak dan menangislah saat menurun. Menanjak bukanlah siksaan, dan menurun bukanlah hiburan. Turunan ke Situ Gunung yang makadam membuat kita harus berhati-hati memainkan rem dan melajukan roda depan. Apalagi setelah dari turunan pemandangan Situ sudah mengintip.Turunan sekitar 500 m itu berakhir di pinggir Situ. Beruntung membawa sepeda sebab bisa diangkat melewati undak-undak yang membawa kita ke pinggiran situ. Di dekat undak-undak itu berjejer tukang ojek yang menunggu pengunjung yang malas berjalan. Berhubung tidak ada tempat lapang di sekitar situ, maka parkir ditempatkan di atas, tak jauh dari portal tadi. Nah, dari sini pengunjung jalan kaki atau memanfaatkan tukang ojek tadi.Sebagai objek wisata Situ Gunung amat memprihatinkan. Sarana penunjangnya di bawah standar. Toilet ala kadarnya. Bangunannya sudah lapuk. Bahkan malah digunakan untuk menyembunyikan motor pemancing. Padahal pemandangan di pinggir situ amat indah. Terlebih kala kabut turun. Atraksi yang ditawarkan di sini adalah flying fox dan berperahu mengelilingi situ. Jika ingin menginap di pinggir danau sebenarnya ada beberapa guest house yang bisa disewa. Sayang, saat ingin mencari informasi ke sana, penjaganya tidak terlihat.Sore menjelang dan saatnya balik ke Jakarta. Menurut informasi, ada curug di sekitar sini yang layak digowes. Lain waktu dicoba sebab kata Kang Isep banyak jalur yang bisa dijelajahi di sini.