Penulis
Intisari-Online.com - Jika penduduk Jakarta diminta untuk menyebutkan museum-museum apa saja yang ada di Indonesia, mungkin mudah bagi kita untuk menjawabnya; Museum Nasional (atau Museum Gajah), Museum Tekstil, Museum Fatahillah, dan banyak lainnya. Tetapi, ketika ditanya kapan terakhir pergi ke museum, mungkin jawabannya akan berkutat sekitar, “Saat study tour SD dulu” atau “Saat menemani anak saya mengunjungi museum”.
Pergi ke museum tampaknya sudah kurang diminati oleh masyarakat kita. Padahal, dengan pergi ke museum bukan saja menambah pengetahuan, tetapi juga dapat mengeksplorasi berbagai bidang, terutama kebudayaan negara kita sendiri. Lantas, mengapa museum di Indonesia kurang diminati? Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia?
Untuk menjawabnya, mari kita melihat beberapa contoh museum di negara lain.
Amerika. Kompleks museum yang paling terkenal di Amerika – dan merupakan kompleks museum dan riset terbesar di dunia – adalah kompleks yang dibina oleh Smithsonian Institution di Washington, D.C. Smithsonian Complex memiliki 19 museum di Amerika Serikat, dengan yang paling terkenal National Air and Space Museum dan National Museum of Natural History – yang terdapat di film Night at the Museum – dan rata-rata dikunjungi oleh 7 juta pengunjung setiap tahunnya. Pameran dan koleksi yang ditawarkan di kompleks ini beragam, mulai dari koleksi pesawat terbang, pesawat ulang-alik, dan bom nuklir bekas perang dingin pada National Air and Space Museum, fosil dinosaurus, mumi Mesir, dan koleksi serangga pada National Museum of Natural History, hingga artefak sejarah Amerika pada National Museum of American History.
Singapura. Negara tujuan turis Indonesia nomor satu ini juga memiliki museum-museum yang “mumpuni”. Sebut saja National Museum of Singapore. Museum ini dapat menarik sekitar 850 ribu pengunjung per tahunnya dan terdiri atas berbagai pameran, mulai dari sejarah Singapura hingga artefak-artefak dari negara lain termasuk wayang Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Museum yang paling ramai dikunjungi di Indonesia adalah Museum Listrik dan Energi Baru di TMII dengan jumlah pengunjung hanya 500 ribu orang di tahun 2008. Jauh lebih sedikit dibanding National Museum of Singapore. Jika dibandingkan dengan Museum Nasional di Jakarta, angkanya jauh lebih sedikit, yaitu sekitar 240 ribu pengunjung pada tahun 2008 – kurang dari setengah pengunjung Museum Nasional di Singapura.
Wah, mengapa ini bisa terjadi? Banyak alasan di balik ketiadaan antusiasme masyarakat terhadap museum. Namun empat alasan berikut dapat dibilang sebagai alasan utama. Alasan pertama adalah penyajian artefak/eksibisi yang cenderung monoton. Kemonotonan ini dapat dilihat dari penyajian dan penataan koleksi yang cenderung membosankan. Koleksi hanya dipajang dalam lemari kaca dan meja-meja, seringkali dengan informasi yang minim tanpa penataan artistik. Kedua, kurang menariknya rekreasi museum di mata masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena alasan pertama; penyajian koleksi dan penyajian museum yang amat kurang.
Alasan lain adalah kurangnya interaksi yang melibatkan pengunjung. Eksibisi dan koleksi hanya dipajang – seringkali tanpa adanya penjelasan mengenai koleksi tersebut, pemandu pun tidak selalu tersedia, apalagi audio-guide. Koleksi yang interaktif pun cenderung sedikit, begitu juga dengan kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengunjung di museum tersebut. Memang ada program-program interaktif yang ditawarkan, misalnya membatik pada Museum Tekstil. Akan tetapi program seperti ini tergolong jarang pada museum-museum di Indonesia.
Kurangnya perawatan museum juga menjadi salah satu sebab museum kurang diminati. Tidak jarang kita mengurungkan niat ke museum karena melihat bangunan yang sudah reyot, plafon yang bolong di ujung ruangan, ruangan yang pengap, dan tumpukan debu serta sarang laba-laba. Efek menyeramkan pun jadi timbul pada benak pengunjung dan mengurungkan niat untuk datang ke museum tersebut.
Sebenarnya jika dibandingkan dengan museum nasional di negara lain, koleksi tetap Museum Nasional Jakarta bukannya tidak banyak; lihat saja, Museum Nasional Jakarta memiliki puluhan arca dan prasasti, artefak dari setiap propinsi di Indonesia, perhiasan, tekstil, dan banyak lainnya. Namun penataan museum-museum di luar sana – lengkap dengan pencahayaan, informasi, dan dekorasi – jauh lebih menarik, sehingga menarik lebih banyak pengunjung.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab akan keadaan ini? Museum adalah tanggung jawab pemerintah daerah, yang berarti pengelolaan dan penjagaan museum seharusnya dijaga oleh pemerintah. Namun, pada negara berkembang seperti Indonesia, mungkin perawatan dan pembangunan museum belum masuk pada jajaran prioritas teratas untuk penganggaran dana tahunan. Negara mungkin masih memprioritaskan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pada negara maju seperti Inggris dan Prancis, perawatan dan pengelolaan museum sangat diperhatikan oleh pemerintahnya.
Sebenarnya, ada alternatif lain jika pendanaan dan pengelolaan dari negara tidak cukup, yaitu donasi atau pendanaan dari pihak-pihak lain. Banyak museum yang didanai oleh donatur pribadi, yayasan, dan bahkan perusahaan swasta. Misalnya, Museum Layang-layang yang dibina oleh Ibu Endang Ernawati – yang hobi mengoleksi barang antik – dan Museum Wayang. Museum yang dikelola oleh yayasan, donatur, atau perusahaan swasta ini biasanya relatif lebih terawat dan apik dibanding yang dikelola oleh negara atau pemerintah kota. Aktivitas yang ditawarkan pun biasanya lebih beragam dan lebih terstruktur.
Namun, ada tantangan ke depan bagi museum-museum, baik yang dikelola swasta maupun pemerintah. Menurut penelitian Center for The Future of Museums yang diinisiasi oleh American Associations of Museums, masa depan museum-museum dunia akan ikut terkena imbas globalisasi. Perusahaan-perusahaan yang dulunya mengalokasikan dana untuk menyumbang pada museum harus mempersiapkan dirinya terlebih dahulu untuk menghadapi pasar dunia yang lebih terbuka, lengkap dengan kompetitor dari berbagai belahan dunia. Hal ini dapat membuat museum-museum yang didanai swasta menjadi lebih tersendat dan harus makin aktif mencari pendanaan dari pihak lain. Adanya globalisasi pun tidak hanya mempengaruhi kompetisi bisnis, tapi juga kompetisi dengan museum-museum di luar negeri yang nantinya makin mudah terjangkau.
Namun, pada saat yang bersamaan, museum-museum juga memiliki kesempatan untuk maju. Dengan adanya globalisasi, kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan budaya global dan kebutuhan masyarakat akan pengetahuan terhadap budaya lokal pun meningkat. Nah, masalahnya, siapkah museum di Indonesia menjawab permintaan dari masyarakat nantinya? Kita lihat saja nanti.