Senja di Samalona

K. Tatik Wardayati

Penulis

Senja di Samalona

Intisari-Online.com – Atas undangan PT Unilever Indonesia, Intisari bersama 4 jurnalis lain mengunjungi kota Makassar. Saat itu bertepatan diadakannya Muktamar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang berlangsung tanggal 20 – 24 November 2012.

Ke mana yang Anda pikir ketika tiba di Makassar untuk sejenak melepas lelah? Pasti Pantai Losari, Benteng Fort Rotterdam, atau tempat wisata yang terbaru TransStudio. Atau sejenak mengisi perut dengan Coto Makassar, Sop Konro, atau Iga Bakarnya?

Bermaksud menikmati sunset, daripada ke Pantai Losari yang sudah biasa, kami diajak ke sebuah pulau kecil ke arah barat Makassar. Pulau Samalona, kami tempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor tempel. Perahu kami sewa dengan harga Rp500.000,-, mengantar, menunggui, dan akhirnya membawa kami kembali ke Makassar.

Dari atas perahu, kami dapat melihat beningnya air di sekitar pulau kecil tersebut. Setibanya di Pulau Samalona, kami disambut oleh putihnya pasir yang lembut. Sayangnya, terlihat di bibir pantai tersebut sampah plastik yang berserakan. Tidak mudah rupanya menanamkan kebiasaan orang kota yang bertandang ke pulau tersebut, untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Pulau yang luasnya hanya sekitar 2 hektar itu tidak memakan waktu lama untuk mengitarinya. Pohon-pohon yang hijau menjulang menambah asrinya pulau tersebut. Bila menyusuri jembatan pintu masuknya, kita akan disambut oleh papan petunjuk yang bertuliskan nama pemilik pulau. Rupanya pulau Samalona dimiliki secara perorangan, bukan milik pemerintah.

Ditemani oleh Ibu Tia, salah seorang penghuni pulau tersebut, kami sejenak melepas lelah. Sayang sekali, niat kami untuk menikmati matahari terbenam tidak terkabulkan. Karena, awan hitam menggelayut di ufuk barat. Pulau Samalona dihuni oleh sekitar 17 keluarga secara turun temurun. Pulau tersebut merupakan tempat perlindungan dari penjajahan Belanda, lalu Jepang. Setiap kali ada yang lewat, para penduduk berteriak “Samalona … samalona ....” artinya kira-kira, “Ada yang lewat ... ada yang lewat ....” Lalu mereka menembaki musuh yang lewat sekitar pulau tersebut.

Karena kami berkunjung pada hari biasa, maka kami mendapati pulau tersebut sangat sepi. Hanya ada beberapa penghuninya saja. Keluarga besar Ibu Tia pun pada hari biasa mereka berada di Makassar, ada yang bersekolah, juga bekerja. Di Samalona memang tidak terdapat sekolah, untuk mendapatkan air bersih untuk memasak, berbelanja bahan pokok, para penghuninya seminggu sekali menyeberang ke Makassar.

Penghasilan para penghuni Samalona diperoleh dengan menyewakan rumahnya untuk tempat beristirahat para wisatawan. Sebuah rumah disewakan sekitar Rp350.000,- hingga sekitar Rp800.000,- per hari tergantung fasilitas rumah tersebut. Cukup mahal, mengingat fasilitas listrik belum sampai ke daerah tersebut, dan penerangan hanya mengandalkan mesin diesel. Beberapa rumah terlihat tidak dirawat dengan baik, meski ada beberapa rumah yang terlihat apik.

Pulau ini ramai oleh pengunjung biasanya saat pergantian Tahun Baru atau saat liburan tiba meski saat akhir pekan pun beberapa rumah penuh tersewa. Bila saja para pengunjung mau juga ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan, pastilah bibir pantai Samalona akan bersih dari sampah. Pun, beberapa tempat penginapan diperindah, rasanya keindahan Pulau Samalona pun akan semakin terlihat. (*)