Find Us On Social Media :

Menapaki Pemaknaan Masyarakat tentang Gunung Padang

By J.B. Satrio Nugroho, Rabu, 10 April 2013 | 10:00 WIB

Menapaki Pemaknaan Masyarakat tentang Gunung Padang

Intisari-Online.com - Seperti yang pernah diberitakan di Intisari sebelumnya , sebenarnya Gunung Padang ini bukan penemuan baru. Arkeolog Belanda N.J. Krom sudah mencatat keberadaan situs megalitikum ini. Pada 1979, beberapa petani setempat “menemukan” serakan batu berpola tertutup semak di puncak Bukit Gunung Padang.

Pada 1980, penelitian yang dipimpin oleh Prof Dr. Raden Panji Soedjono, pakar prasejarah pertama Indonesia, melakukan penelitian awal. Sejak itu, proses ekskavasi dan restorasi terus berjalan sampai sekarang. Penemuan terakhir berhasil memprediksi usia konstruksi itu.

Konstruksi di puncak bukit Gunung Padang terdiri dari serakan batu yang terpola. Ada lima teras yang berundak, dihubungkan dengan struktur tangga kecil. Hasil penelitian dari tim peneliti, ternyata konstruksi di puncak Gunung Padang itu bukanlah konstruksi bangunan seluruhnya, ada konstruksi terpendam di dalam perut bukit tersebut, bahkan mencapai dasar bukit. Besarnya diperkirakan mencapai 25 hektare; jauh lebih besar daripada Borobudur!

 

 

Nanang dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang, Banten, sekaligus koordinator juru pelihara di Gunung Padang, mengisahkan pemaknaan masyarakat sekitar tentang Gunung Padang.

Di teras I ada struktur batuan yang dinamakan Eyang Pembuka Lawang (kakek pembuka pintu). Ada dua menhir besar yang sayangnya sekarang tinggal satu yang masih berdiri tegak. Secara filosofis, sebagai simbol membuka dan mempersiapkan hati sebelum memasuki areal pemujaan tersebut.

Kemudian ada yang namanya Gunung Masigit/Masjid. Di situ terdapat dua menhir yang miring, seperti orang bersujud. Arah sujudnya mengarah ke Gunung Gede.

 

Di Teras II, ada yang disebut Mahkuta Dunia. Menurut Nanang, banyak orang yang salah persepsi. Orang bersemedi dan tirakat di tempat tersebut untuk meminta sesuatu, kekayaan misalnya. “Sebetulnya bukan seperti itu, Mahkuta Dunia itu sebenarnya simbol kehormatan dunia. Artinya, buat apa kita punya kekayaan berlimpah kalau tidak didasari dengan zakat. Karena di dekat Mahkuta Dunia itu ada batu yang dinamakan Batu Lumbung, simbol sikap saling berbagi.

Di Teras III, ada batu yang dinamakan Telapak Kujang. Kujang itu senjata pusaka masyarakat Sunda. Menurut Nanang, Batu itu tepat berada di sentral Situs Gunung Padang. “Dulu berdiri, cuma sekarang sudah rubuh,” jelasnya. Nanang menjelaskan, Kujang berasal dari “ku ujang”, bahasa Sunda, yang artinya “oleh kamu”. “Artinya, makna-makna yang ada di Gunung Padang itu harus dipegang teguh olehmu,”

Tingkat keempat, ada Batu Gendong, simbol kekuatan. Banyak orang yang berpikir bahwa jika berhasil mengangkat Batu Gendong tersebut, maka doanya akan terkabul. “Itu pemahaman yang salah. Kenapa Batu Gendong tersebut ada di Teras IV? Artinya, silakan Anda melanjutkan perjalanan ke tingkat kelima atau tingkat yang tertinggi, asal mampu dulu mencapai tingkat-tingkat sebelumnya,” papar Nanang.