Penulis
Intisari-Online.com - Belakangan ini ramai dibicarakan perihal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM yang kian membengkak membuat pemerintah ingin menaikkan harga BBM supaya tidak membebani anggaran. Nilai subsidi tahun 2012 mencapai Rp346,4 triliun atau 34,33 persen dari belanja pemerintah pusat. Tak kurang dari 61,17 persen dari total subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk listrik (Rp94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total subsidi.
Subsidi idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran. Salah satunya masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Tingkat kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66 persen atau sekitar 28,6 juta orang dengan tingkat garis kemiskinan Rp280.000/orang/bulan (BPS).
Nah, dengan total subsidi sebesar Rp346,4 triliun tadi, jika disalurkan tepat sasaran, seharusnya tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan itu. Begini perhitungannya. Mengacu ke tingkat garis kemiskinan tadi, jika disalurkan bantuan sebesar Rp281.000/orang/bulan kepada 28,6 juta rakyat miskin hanya perlu Rp96,44 triliun per tahun atau 45,51 persen dari subsidi BBM atau 27,84 dari total subsidi 2012!!
Masalahnya, di lapangan berbicara lain. Proporsi subsidi BBM Rp211,9 triliun (61,17 persen), tetapi sebagian besar dinikmati para pemilik kendaraan bermotor yang notabene bukan orang miskin. Data Kementerian ESDM menunjukkan, proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53 persen) dibandingkan pemilik motor (47 persen); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59 persen); dan 3) angkutan darat (89 persen). Tercatat 25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM dibandingkan 25 persen rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15 persen subsidi BBM (Kementerian Keuangan, 2012).
Berbeda dengan sebagian besar negara di dunia, terdapat anomali penyaluran subsidi di Indonesia. Alih-alih subsidi disalurkan ke rakyat miskin, fakta menunjukkan subsidi BBM justru dinikmati masyarakat berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi. Bahkan, koruptor pun, yang notabene berpendapatan menengah ke atas, ”disubsidi” para pembayar pajak yang budiman.
Hasil perkiraan peneliti Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB FEB UGM) menunjukkan, berdasarkan putusan MA 2001-2012, biaya eksplisit korupsi Rp168,19 triliun, sementara nilai hukuman finansial hanya Rp15,09 triliun (harga konstan 2012). Dengan demikian, selisih kedua nilai ini, Rp153,1 triliun, harus ditanggung masyarakat. Dengan kata lain, di negeri ini koruptor disubsidi masyarakat. (Disarikan dari tulisan Rimawan PradiptyoDeputi Penelitian P2EB FEB UGM dan Dosen pada Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UGM/Kompas)