Emas Museum Nasional Bejibun, Tapi Tak Ada 24 Karat

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Emas Museum Nasional Bejibun, Tapi Tak Ada 24 Karat

Rabu (11/9) ada kabar menghebohkan di media massa tentang hilangnya beberapa benda koleksi yang terbuat dari emas di Museum Nasional atau Museum Gajah. Seperti apa sebenarnya benda-benda emas dari museum terbesar di Indonesia, bahkan konon di Asia Tenggara itu? Berikut catatan wartawan Intisari saat berkunjung ke sana.

Ruang Khasanah Emas juga menyimpan benda-benda emas pada masa yang lebih modern, yakni pada masa kesultanan-kesultanan Islam, antara abad ke-16 sampai 20 Masehi. Koleksinya terkumpul di ruangan ruang lain yang letaknya bersebelahan dengan benda-benda emas pada masa Hindu-Buddha tadi.

Salah satu masterpiece yang wajib disimak di sini adalah Mahkota Sultan Banten. Mahkota berukuran 16,5 cm x 19,3 cm itu berhiaskan batu mirah, berlian, batu emerald serta mutiara. Motif ukiran pada mahkota dibuat dengan teknik tembus (krawangan) yang menggambarkan pohon hayat dalam beberapa panil. Sayangnya, penempatan mahkota yang usianya sudah 200 tahunan itu tidak begitu mencolok, sehingga sangat mungkin terlewatkan oleh pengunjung.

Koleksi-koleksi lain pada khasanah emas kesultanan umumnya berkenaan dengan perlengkapan pemerintahan atau istana. Seperti misalnya pusaka kerajaan (regalia), bentuk-bentuk hewan sebagai simbol kerajaan, peralatan menyirih, perhiasan, peralatan upacara agama, serta peralatan seni pertunjukan. Dengan mengamati kesamaan fungsi dari emas itulah, kita mafhum bahwa dari masa ke masa, emas tetap dianggap sebagai benda bernilai tinggi. Bahkan sampai detik ini!

Walau semua benda-benda di sini judulnya mengandung “emas”, namun jangan lantas membayangkan ada benda yang bentuknya batangan emas murni, seperti di film-film petualangan. Kadar emas yang dipakai umumnya memang hanya 16 sampai 20 karat. “Kalau emas 24 karat, tentu akan susah membentuknya menjadi benda tertentu,” jelas Oting Rudi Hidayat, Petugas Humas Museum Nasional yang menemani saya. Bahkan pada sejumlah benda, emas berfungsi hanya untuk melapis saja.

Koleksi yang cukup menonjol tentunya emas sebagai pusaka kerajaan atau regalia. Benda-benda ini merupakan warisan dari leluhur kepada istana dan berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan di istana. Umumnya pusaka ini memiliki sejarah, nama, dan kekuasaan spiritual yang dapat diminta untuk melindungi rakyat dan pemimpinnya. Jika terdapat penguasa baru, tentu saja simbol kekuasaan ini akan berpindah tangan.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda banyak mendapat pusaka ini. Umumnya terjadi karena ekspedisi militer dan penaklukan sejumlah daerah untuk memperluas kekuasaan. Pusaka ini kemudian disumbangkan ke Museum Bataviaasch Genootschap yang kini menjadi Museum Nasional. Antara lain pusaka yang terpajang berasal dari Kesultanan Banten, Kesultanan Banjar, Kesultanan Bangkalan, Kesultanan Palembang, Jambi, Batak, Riau Lingga, serta beberapa kesultanan di Bali.

Kalau mau direnungkan, keberadaan Ruang Khasanah secara tidak langsung menjadi bukti sejarah atas peradaban yang tinggi dari kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Indonesia. Kita mungkin pernah mendengar Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi (pulau emas) yang mengacu pada Sumatera dan Jawa. Itu artinya, sejak masa Hindu-Buddha, emas sudah banyak dimanfaatkan di kedua pulau tersebut. Meski ada juga emas yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Cina, dan Semenanjung Malaka.

Menginjak usia 144 tahun, Museum Nasional tercatat sebagai museum tertua dan terbesar di Indonesia. Bahkan konon terbesar dan terlengkap di Asia Tenggara.

Kini total terdapat kurang lebih 142.000 koleksi yang berasal dari seluruh Nusantara dan negara-negara tetangga, meski sekitar 35 persennya masih belum bisa dipajang dan dipamerkan kepada pengunjung. Namun rasanya berkeliling satu hari penuh sekalipun, tak cukup untuk menikmati satu persatu dari seluruh koleksi museum yang menetapkan tiket Rp5.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak ini.