Penulis
Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)
----------------------------
Intisari-Online.com -Hingga hari ini, Amelia Yani, putri dari Achmad Yani, salah satu Pahlawan Revolusi, mengaku tidak pernah bisa melupakan kepedihan yang dialaminya pada 1 Oktober 1965.
Ketika itu, dini hari, sekelompok tentara meluruk ke rumahnya di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mungkin tidak sampai setengah jam. Sebuah waktu yang singkat namun mempengaruhi perjalanan hidupnya kemudian.
Dalam buku biografinya, Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2002) Amelia menuliskan larik-larik kesaksiannya. Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan. Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. Jantungku bagaikan terloncat keluar. Bapak! Itu Bapak, kata hatiku. Ya Allah, itu Bapak.
Pagi itu Amelia belum menyadari sepenuhnya yang tengah terjadi. Bunyi rentetan tembakan membangunkan tidurnya. Mata ayahnya yang telah terpejam saat terakhir kali dilihat. Suara derap sepatu lars dan deru kendaraan yang meninggalkan rumah mereka. Semua menjadi potongan-potongan kejadian yang menimbulkan satu pertanyaan besar di dalam benaknya: ada apa sebenarnya?
Kepastian nasib ayahnya didapat Amelia tiga hari kemudian. Jasad Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, ditemukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya. Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.
Anehnya, hingga kini Amelia mengaku tidak tahu siapa sebenarnya yang menculik ayahnya. “Penjelasan dari pemerintah juga tidak ada,” tutur Amelia yang kini tinggal di Yogyakarta. Semua terjadi begitu cepat dan kehidupan keluarganya harus berubah drastis sejak saat itu.