Penulis
Intisari-Online.com -Satu dari tiga perempuan dan satu dari empat laki-laki mengidap arachnofobia, takut laba-laba. Ini sulit dipahami lantaran mereka tidak pernah mengalami kejadian traumatis dengan laba-laba. Sebuah studi menemukan, dari 118 orang dewasa yang takut laba-laba, hanya delapan orang yang punya pengalaman traumatis yang melibatkan laba-laba.
Mitos dan kesalahpahaman ikhwal laba-laba menjadi fenomena yang menjalar. Padahal, fakta menyebutkan—dengan mengesampingkan beberapa jenis minoritas—laba-laba pada dasarnya adalah serangga yang tidak berbahaya.
Dalam sebuah penelitian terhadap 200 anak sekolah dasar, 62 persen mengindikasikan bahwa mereka percaya laba-laba berbahaya bagi manusia, terutama saat waktu tidur. Sementara sebanyak 72 persen menganggap, gigitan tarantula bisa berakibat fatal.
Lantas muncul pertanyaan sederhana, sebenarnya apa yang membuat kita takut terhadap laba-laba?
“Trauma” Sejarah
Pada Desemberr 2013, para arkeolog yang bekerja di sebuah gurun pasir di Mesir menemukan contoh gambar laba-laba kuno pada sebuah batu cadas bertanggal 4000 SM. Temuan ini berhasil digunakan untuk menggali musabab awal kenapa manusia takut laba-laba.
Salah satu penjelasan yang paling banyak dikutip adalah uraian psikolog Martin Seligman pada 1971 mengenai “hipotesis kesiapan biologis”. Menurut teori ini, manusia mengembangkan keengganan terhadap laba-laba karena beberapa detail dalam sejarah. Konon, dulu, laba-laba dihadirkan sebagai ancaman nyata kepada nenek moyang. Teori ini juga digunakan untuk menjelaskan keengganan terhadap ancaman ular, kegelapan, dan ketinggian.
Teori ini didukung oleh temuan Pavol Prokop, ahli biologi dari Slovakia. Ia membandingkan ketakutan terhadap laba-laba di Slovakia dan Afrika Selatan. Setelah mengamati 300 siswa SMA di tiap-tiap negara muncul kesimpulan, pelajar Afrika Selatan memiliki ketakutan lebih dibanding Slovakia. Maklum, Afsel adalah rumah laba-laba yang lebih beracun dibanding di Eropa.
Takut karena tradisi
Teori kedua lebih berlatar belakang kultural. Graham Davey, psikolog di London’s City University mengamati 260 orang Inggris dewasa yang memiliki persepsi berbeda terhadap laba-laba. Davey menemukan, rata-rata orang yang takut terhadap laba-laba cenderung takut juga terhadap binatang-binatang seperti bekicot, kecoa, dan siput. Binatang-binatang ini bukanlan predator tapi mereka mempunyai satu kesamaan: mereka membangkitkan rasa jijik.
Sensitivitas terhadap jijik, dipercaya Davey, menjadi pangkal dari semua ketakutan tersebut. Itu tandanya, takut laba-laba bukan proses evolusi, tapi sebuah tradisi turun temurun.
Karena jijik, orang-orang lantas menautkan binatang ini dalam golongan: penyebar penyakit (seperti tikus), fitur yang berhubungan dengan penyakit seperti lendir (siput), dan pembawa kotoran dan pemakan busuk (belatung). Menurut Davey, ini serupa dengan apa yang terjadi pada Abad Pertengahan.
Laba-laba di Eropa pada Abad Pertengahan dianggap sebagai sumber racun. Setiap makanan yang dihinggapi oleh laba-laba dianggap akan terinfeksi, demikian juga ketika jatuh di air, maka air itu akan beracun. Saat walat besar di Eropa, laba-laba dianggap sebagai pertanda wabah dan kematian. Sampai abad ke-17, laba-laba masih dianggap sebagai binatang yang beracun dan mematikan.
Tapi jangan salah, di beberapa tempat, laba-laba menempati posisi yang terhormat. Dalam beberapa budaya Afrika, laba-laba dianggap sebagai salah satu wujud Dewa Anansi dalam kosmologi Ashanti. Di Indo-Cina dan Karibia, laba-laba dijadikan hidangan yang lezat. Sementara umat Hindu di Bengal Timur menganggap laba-laba sebagai tanda keberuntunga. (Mashable)