Budi-Lanny, Pasangan Pendobrak Diskriminasi Tionghoa

Ade Sulaeman

Penulis

Budi-Lanny, Pasangan Pendobrak Diskriminasi Tionghoa

Intisari-Online.com -Nama pasangan Budi Wijaya (50) dan Lanny Guito (42), layak disebut sebagai pendobrak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan rezim Orde Baru. Pasangan suami istri warga Surabaya ini, menjadi warga Tionghoa pertama yang melakukan perlawanan.

Itu terjadi pada 1996, ketika negara melarang keras segala atribut dan tradisi Tionghoa ditampilkan.

Budi Wijaya kala itu menikah secara agama Khonghucu. Pernikahannya ditolak Kantor Catatan Sipil Surabaya. Dengan bantuan Klenteng Boen Bio, tempatnya menikah, ia melawan. Perlawanan berlangsung di jalur hukum berlangsung sengit.

Tekanan dan intervensi berlangsung kuat, namun perlawanan Budy tak pernah surut. Ketua Klenteng Boen Bio Surabaya, Gatot Seger Santoso (65) menyebut perlawanan Budy-Lanny inilah sebagai tonggak perlawanan pemeluk Khonghucu.

"Kasus perkawinan Budi dan Lanny merupakan tonggak kebebasan bagi para pemeluk Khonghucu di Indonesia untuk merayakan Imlek secara terbuka," kata Gatot.

Tentu Budi tidak sendiri. Masih ada deretan tokoh lain. Di antaranya Bingky Irawan, ketua Boen Bio waktu itu. Dialah yang mendampingi dan mengawal Budi.

Termasuk membawanya ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di Jakarta. Dari MATAKIN inilah, perkara itu sampai telinga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur yang waktu itu menjadi Ketua Umum PBNU dengan lantang membela. Tanpa diminta, ia menyediakan diri menjadi saksi, membela pasangan Budy-Lanny di pengadilan. Skala perlawanan pun naik ke tingkat nasional.

Makin hari, Gus Dur makin intens berkampanye melawan diskriminasi kaum Tionghoa dan pemeluk Khonghucu.

"Gus Dur sebenarnya tidak berpihak pada kelompok atau lebel-label sosial tertentu. Beliau konsisten membela kemanusiaan. Kebetulan waktu itu ada penindasan terhadap kemanusiaan warga Tionghoa. Jadi Gus Dur bela. Di luar itu, pada saat bersamaan Gus Dur juga membela rakyat Papua dan Aceh," jelas Alissa Qatrunnada, putri Gus Dur.

Di berbagai kesempatan, baik di kalangan nahdliyyin maupun kalangan Tionghoa, Gus Dur berkali-kali menyatakan dirinya adalah keturunan Tionghoa.

Banyak kalangan menyebut, ini adalah pernyataan pasang badan sekaligus ajakan bagi nahdliyyin yang dipimpinnya untuk mengawal perjuangan kaum Tionghoa.

Tahun 1998, rezim Orde Baru tumbang. Di susul kemudian KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden tahun 1999. Tak perlu menunggu lama, Presiden Gus Dur menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2000. Isinya mencabut Inpres No. 14/1967 tentang pembatassan Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China.

Inilah pintu kebebasan bagi kaum Khonghucu dan Thionghoa.

Keputusan ini kemudian disusul dengan lahirnya keputusan pemerintah tahun 2001 yang menjadikan Tahun Baru Imlek, sebagai hari libur fakultatif. Hari libur khusus bagi yang merayakannya. (tribunnews.com)