Penulis
Intisari-Online.com - Bagaimana sosialisasi anak homeschooling?
Berdasarkan rentang usia di dalam sebuah kelompok masyarakat, ada dua model sosialisasi yang biasanya dikenal, yaitu sosialisasi horizontal (seumur) dan sosialisasi vertikal (lintas umur). Anak-anak yang dididik dalam model sekolah dikumpulkan berdasarkan umur yang kurang lebih sama, di dalam kelompok-kelompok yang biasa kita kenal dengan sebutan kelas. Pengelompokan semacam ini dinilai sesuai dengan psikologi anak yang membutuhkan teman sebayanya untuk berinteraksi dan mengembangkan diri.
Pergaulan di sekolah merupakan contoh paling jelas mengenai model sosialisasi horizontal. Sosialisasi horizontal menjadi salah satu ciri utama bentuk sosialisasi yang dilakukan anak sekolah, yang dijalani hampir selama 15 tahun pendidikan, sejak SD hingga Perguruan Tinggi.
Sementara itu, anak-anak yang dididik dalam homeschooling memiliki model sosialisasi yang berbeda. Anak-anak HS tidak setiap hari berkumpul di kelas dengan anak-anak yang seusianya. Anak-anak HS bersosialisasi dengan anggota keluarga dan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang sebagian besar memiliki usia yang berbeda.
Di rumah, anak-anak HS bergaul dengan ibu, bapak, kakak, adik, kakek, nenek, saudara yang memiliki usia berbeda. Di lingkungan rumah, mereka bergaul dengan siapa pun, baik teman-teman main yang sebaya maupun orang-orang yang memiliki usia berbeda.
Inilah contoh model sosialisasi vertikal. Model sosialisasi lintas-umur merupakan model sosialisasi utama di dalam HS, yang dijalani selama proses pendidikan yang dijalaninya.
Dalam pandangan keluarga HS, model sosialisasi vertikal (lintas-umur) adalah model yang paling alami di masyarakat. Sebab, masyarakat sesungguhnya tak pernah dikelompokkan berdasar umur. Keluarga, lingkungan, kantor, organisasi, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya semuanya terdiri atas orang-orang yang berbeda umur.
Dengan model sosialisasi lintas umur yang dijalani sehari-hari, keuntungan bagi anak-anak HS adalah mereka tak membutuhkan penyesuaian ketika bersosialisasi dan terjun ke masyarakat. Anak-anak HS/ HE relatif tak mengalami kesulitan dan tak membutuhkan proses penyesuaian (adjustment) untuk aktif di organisasi, lingkungan, atau tempat kerja karena lingkungan pergaulannya selama ini selalu lintas-umur.
Model sosialisasi lintas-umur yang menjadi karakteristik utama HS/HE tak berarti bahwa anak-anak HS/HE tidak bergaul dengan teman sebayanya. Ketika anak-anak HS/HE mulai tumbuh besar dan membutuhkan teman sebaya, keluarga HS/HE biasanya mencari alternatif-alternatif untuk membuka jalur pertemanan sebaya bagi anaknya. Inilah salah satu tantangan HS/HE yang harus dicari solusinya.
Pertemanan sebaya anak-anak HS/HE biasanya diperoleh dengan keterlibatan orangtua/anak pada kegiatan spiritual keagamaan yang dilakukan orangtua (pengajian, sekolah minggu, kelompok meditasi, dsb); melalui kursus-kursus yang diikuti anak, mengikuti klub hobi/minat, mengikuti kegiatan dalam komunitas HS, dan kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan anak sebaya.
Intinya, anak HS/HE tidaklah dikurung di rumah sebagaimana yang sering dituduhkan oleh sebagian anggota masyarakat yang tak memahami HS/HE. Anak-anak HS/HE memang memiliki model sosialisasi yang berbeda dengan anak-anak sekolah, tapi kualitasnya tak bisa dinilai lebih buruk. Bahkan, dalam riset justru ditemukan keunggulan kemampuan sosialisasi anak-anak HS/HE yang terbiasa dengan sosialisasi lintas-umur.