Penulis
Intisari-Online.com -Dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, Denys Lombard menyebut, orang-orang Jawa sudah memuja gunung berapi jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha dari India. Dalam buku itu, Lombard menegaskan orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu sama seperti orang Bali memuja Gunung Agung dan penduduk Tengger memuja kawah Gunung Bromo.
***
Dengan kepercayaan bahwa gunung menjadi tempat bersemayam para dewa, masyarakat pada masa lalu, menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, cenderung mengandalkan mitigasi religius-magis untuk menangkal letusan gunung api.
Upaya itu terlihat dari pembangunan Candi Penataran di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, sekitar 12 kilometer utara Kota Blitar. Candi ini dibuat pada masa Kerajaan Kediri sebagai tempat pemujaan yang diduga untuk meredam amarah Kelud. Pada masa Majapahit, candi ini juga digunakan untuk tujuan yang sama.
Relief di tingkat kedua Candi Penataran, misalnya, merupakan gambaran api yang berkobar-kobar. Di situ diceritakan bahwa Kresna dikejar seorang raksasa bernama Kalayawana. Dalam pelariannya, Kresna melewati lokasi meditasi seorang brahmana bernama Wiswamitra. Kalayawana yang mengejar Kresna rupanya tak melihat keberadaan Wismamitra sehingga menginjak tubuh brahmana yang tengah bermeditasi itu. Diusik meditasinya, Wiswamitra murka. Dalam kemurkaannya ia mengeluarkan kutukan berupa api berkobar-kobar yang membakar tubuh Kalayawana dan para pengikutnya.
Pemilihan relief Kresna ini, lanjut Dwi, kemungkinan besar dilakukan untuk menunjukkan gambaran tentang dahsyatnya api yang keluar dari Gunung Kelud. Namun, pemilihan relief Kresna itu bisa jadi juga menunjukkan sikap masyarakat waktu itu dalam memandang murka Kelud, yang tidak melulu negatif.
Karena membakar tubuh raksasa yang jahat, api Kelud dimaknai sebagai api yang membersihkan dunia dari petaka. Dalam bahasa Jawa, Kelud juga berarti sapu atau alat untuk membersihkan kotoran. Dengan begitu, murka Kelud tidak melulu dipandang sebagai sebuah bencana yang menyengsarakan.
Jejak dari Prasasti PalahPrasasti Palah juga menunjukkan jejak pemujaan terhadap gunung sejak zaman Kerajaan Kediri. Dalam prasasti berangka tahun 1119 Saka (1197 Masehi) yang dikeluarkan Raja Kediri terakhir, yakni Kertajaya, disebutkan bahwa raja menetapkan Desa Palah sebagai desa perdikan dan dibebaskan membayar pajak sebagai ganti dari tugas memelihara bangunan suci di Palah untuk pemujaan kepada batara.
Jika dilihat dari struktur bangunan induk, saat ini bangunan yang tersisa bertingkat tiga. Di tingkat pertama terdapat relief cerita Ramayana. Di tingkat kedua terdapat relief Kresna dan di tingkat ketiga terdapat relief binatang yang hidup di dunia peralihan. Adapun di bagian puncak, tidak ada bangunan apa pun kecuali lantai batu.
Akan tetapi, sejarah juga menunjukkan candi ini tidak luput dari letusan Kelud. Sebab, saat ditemukan tahun 1815, tubuh candi ini tertutup pasir muntahan Kelud. Dwi menduga material yang menutup Kelud berasal dari beberapa kali periode letusan.
"Jejak bangunan megalitik dan punden berundak yang tersebar di sejumlah gunung di Jawa menguatkan dugaan, proses pemujaan gunung telah berlangsung di Jawa sejak zaman prasejarah."(nationalgegraphic.co.id, sumber: Ekspedisi Cincin Api, Kompas Sabtu 12 Januari 2012)