Penulis
Intisari-Online.com -Angka pernikahan dini di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN, Mugia B Raharja menyebut, salah satu penyebab yang paling signifikan adalah pendidikan rendah.
Berdasar survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, sebanyak 12,8 persen perempuan umur 15-19 tahun sudah menikah dan 0,6 persen sudah bercerai. Itu artinya, dari 10,7 juta remaja putri pada kelompok umur itu, terdapat 1,4 juta yang sudah menikah dan 155.000 dari jumlah itu yang menikah pada usia 10-14 tahun (diambil dari 0,6 persen angka perceraian di usia 15-19).
Survei juga menyebutkan, satu dari 10 remaja putri umur itu sudah pernah hamil atau sedang dalam kondisi hamil. Sebagian kecil dari mereka juga sudah memiliki anak lebih dari dua.
“Rata-rata mereka berada di perdesaan, berpendidikan rendah, tidak bekerja, dan terutama mempunyai status ekonomi rendah,” ujar Mugia. Seperti dikutip dari Kompas, Mugio juga mendesak perbaikan UU No 1/1974 tentang Perkawinan sebagai upaya menutup celah maraknya pernikahan di usia remaja.
Jika ditelisik lebih dalam, banyak risiko negatif yang dihasilkan oleh pernikahan dini. Yang paling mencolok tentu saja lonjakan penduduk, dan yang paling ironis tentu saja meningkatnya angka kematian ibu dan bayi. Belum lagi kesiapan psikologi mereka untuk menjadi sepasang orangtua bagi bayi-bayinya.
Salah satu cara yang dirasa paling efektif adalah meningkatkan tingkat pendidikan. Muhammad Dawam, peneliti Pusda BKKBN lain, menyebut, tingkat pendidikan yang tinggi dan terbukanya pasar kerja bagi perempuan adalah faktor kunci meningkatkan usia pernikahan dan kehamilan pertama.
Tidak sekadar menyuruh para remaja untuk meningkatkan kadar pendidikannya, “pekerjaan rumah juga diembankan kepada pemerintah supaya membuka akses pendidikan selebar-lebarnya. Memperbesar ketersediaan sekolah-guru, serta membangun mimpi yang bisa memompa semangat mereka untuk bekerja alih-alih menikah dini,” kata Dawam. (Sumber:Harian KOMPAS)