Find Us On Social Media :

Jam Terbang Buat Yang Suka Konflik

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 23 Maret 2011 | 16:23 WIB

Jam Terbang Buat Yang Suka Konflik

Konflik dalam dunia kerja nyaris tak bisa dihindari. Bagaimana kiat mengelolanya agar pertentangan tidak berlarut-larut dan malah berbalik menjadi hal yang menguntungkan bagi dinamika kerja?

Konflik! Siapa pun pernah mengalami. Lingkungan tempat kita hidup pada dasarnya penuh konflik. Kalau orang enggak mau konflik, ya enggak usah hidup....

Konflik yang tidak lain adalah perbedaan pendapat, kepentingan, minat, persepsi, atau rasa, perlu diatasi kalau tidak ingin menghambat proses pencapaian sasaran yang sudah disepakati dalam sebuah organisasi. Konflik bisa terjadi antara atasan dan bawahan, tapi tidak tertutup kemungkinan konflik terjadi di antara rekan sekerja.

Konflik antarkaryawan bisa diselesaikan bila pimpinan menciptakan winner dan looser, tetapi memberikan rangsangan agar setiap anggota tim merasa memberikan sumbangan entah besar ataupun kecil. Sebaliknya, anggota tim dituntut mau menganut konsep compete between ideas but corporate between people, atau bersaing habis-habisan dalam pemikiran dan kreativitas. Tetapi cukup di kepala saja dan jangan dimasukkan ke dalam hati, yabg bisa menghancurkan perasaan dan mengakibatkan goyahnya team work.

Ada pula konflik yang muncul secara fungsional. Konflik macam ini, yang bisa disebut konlik antarbagian, muncul lewat pembagian tugas dalam perusahaan. Misalnya antara bagian pemasaran bersama penjualan berkonflik dengan bagian produksi. Konflik model begini, dapat diselesaikan bila orang yang ada di situ bisa melihat kesalingtergantungan antarbagian dengan lebih dewasa. Menyadari kalau satu bagian tidak mungkin berjalan tanpa bagian lain. Kuncinya, masing-masing bagian tak boleh lagi menonjolkan diri, tapi sebagai kesatuan utuh sebuah perusahaan.

Konflik jangan dihindari. Lebih baik kita bisa menikmati hidup dalam alam konflik. Demikian saran yang diberikan seorang psikolog dalam menyiasati konflik. Melihat konflik dengan kacamata jernih, begitu caranya. Bukan mempersepsikannya atas dasar benar-salah, hitam-putih. Namun melihat sebagai fenomena alam biasa seperti panas-dingin, siang-malam, tinggi-rendah, atau luar-dalam. Pandangan positif macam itu dirasa perlu lantaran konflik bisa muncul di kantor lewat apa saja.

Sebenarnya ada tidaknya konflik amat tergantung pada kultur perusahaan dan selera pimpinan. Pimpinan sendirilah yang mendesain suasana organisasi.

Toh akhirnya semua bentuk konflik, entah sengaja ditimbulkan maupun tidak, tetap harus diselesaikan agar tak mengganggu produktivitas kerja. Tapi tetap saja pimpinan harus piawai dan cermat dalam menyelesaikan masalah. Pemecahannya bisa simpel, bisa juga rumit lantaran pada dasarnya kepentingan karyawan dan perusaan harus sama-sama dipertimbangkan.

Hanya saja dalam mengurai benang kusut bernama konflik tadi perlu cermat memilih waktu yang tepat. Kalau tidak, api konflik bukannya padam, bisa-bisa malah membesar. Pimpinan harus tahu, kapan harus menengahinya secara otoriter, dan kapan perlu mengerem diri. Kiat lain, adalah menyelesaikan konflik saat masih segar dan tetap memfokuskan pada masalahnya. Kedua pihak diharapkan bisa memaparkan masalah secara terbuka dan rinci sehingga menjadi permasalahan yang utuh.

Patokan selesainya konflik ujung-ujungnya adalah pada sisi perasaan mereka yang berkonflik. Win-win, begitu rumusnya. Artinya, masing-masing kubu harus sama-sama puas. Dendam, iri, dan sebangsanya mesti disingkirkan jauh-jauh.

Toh taktik menyelesaikan konflik sebenarnya amat unik dan pribadi. Tergantung kejelian dan pendekatan orang per orang. Kalau karyawan bisa berhasil keluar dari konflik akan menimbulkan kepercayaan diri lantaran mereka punya pengalaman atau tambahan jam terbang sebagai bekal penyelesaian konflik di masa depan.