Find Us On Social Media :

Seks yang (Masih) Berselaput Mitos: Darah dan Keperawanan

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 28 April 2015 | 19:45 WIB

Seks yang (Masih) Berselaput Mitos: Darah dan Keperawanan

Intisari-Online.com – Dalam soal seks, ternyata seks masih berselaput mitos. Misalnya saja, ada yang mengira selaput dara yang robek pasti mengeluarkan darah. Betulkah nanas menyebabkan vagina basah? Apakah terong melemaskan potensi seksual pria sementara daging kambing meningkatkan gairah? Apa benar pemilik tubuh "bongkok udang" gairah seksnya tinggi? Benarkah penyakit seksual yang menular seperti HIV/AIDS bisa diredam dengan bir?

--

Masih banyak lagi contoh kesalahkaprahan di seputar masalah seks. Dalam terbitan khusus Intisari tahun 1999, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila menjelaskan, mitos tentang seks beredar luas dalam masyarakat. Sebagian orang bahkan memegangnya dengan teguh sehingga mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat.

Mitos seks umumnya tumbuh subur di kalangan masyarakat yang pengetahuan seksualitasnya rendah. Dalam masyarakat seperti itu pula mitos seks sangat mudah mempengaruhi perilaku seksual yang tidak jarang kemudian menimbulkan akibat merugikan.

Darah dan Keperawanan

Wimpie Pangkahila, guru besar andrologi Universitas Udayana, Bali, menyampaikan beberapa contoh pandangan dan pengetahuan seks masyarakat yang sampai kini banyak dipengaruhi oleh mitos. Mitos besar yang sampai sekarang diyakini banyak orang adalah "darah perawan",  keharusan perempuan mengeluarkan darah sebagai tanda robeknya selaput dara ketika pertama kali berhubungan seksual.

Menurut Wimpie, kenyataan itu terjadi di masa yang lalu, ketika perempuan masih sepenuhnya menjadi objek seksual laki-laki. Hubungan seksual dilakukan tidak dengan sepenuh keinginan si perempuan. Ketidaksiapan secara seksual, bahkan cenderung terjadi pemaksaan, bisa menyebabkan robekan pada organ reproduksi perempuan sehingga terjadi pendarahan. Padahal, kalau perempuan mendapat rangsangan yang baik dan siap, hubungan seksual bisa dilakukan dengan baik dan tanpa hambatan sehingga tidak terjadi pendarahan.

Luas beredar anggapan bahwa dorongan seksual perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki. Anggapan ini salah. Menurut Wimpie, pada dasarnya dorongan seksual perempuan sama dengan laki-laki. Kalau tampak adanya perbedaan, hanya dalam mengekspresikannya sebagai akibat nilai sosial dan moral yang lebih menghambat perempuan.

"Tetapi kenyataannya, memang banyak perempuan yang kemudian kehilangan dorongan seksualnya," tulis Wimpie. "Keadaan ini merupakan akibat kegagalan wanita mencapai orgasme dalam kehidupan seksualnya. Ini mudah dipahami karena dorongan seksual dipengaruhi oleh hormon seks, rangsangan seksual yang diterima, faktor psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya."

Mitos lain yang berkembang adalah anggapan vagina kering lebih bisa memberi kepuasan seksual daripada vagina basah. Lalu, gencarlah para perempuan berusaha agar vaginanya tidak basah. Lagi-lagi Wimpie membantah, dengan menyatakan, upaya itu menentang reaksi seksual yang terjadi secara normal pada kaum perempuan. Salah satu reaksi seksual yang terjadi akibat rangsangan seksual adalah terjadinya perlendiran pada dinding vagina sehingga vagina menjadi licin. "Kalau vagina tetap kering karena tidak ada perlendiran, berarti wanita itu tidak cukup mengalami reaksi seksual sehingga belum siap melakukan hubungan seksual. Kalau dalam keadaan demikian hubungan seks dilakukan juga, akan terjadi gangguan. Umpamanya saja terasa sakit baik oleh si perempuan maupun si laki-laki. Lebih lanjut lagi, bisa terjadi peradangan vagina."

Banyak orang mengira, menopause adalah akhir hasrat seksual kaum perempuan. Padahal kata Wimpie, banyak penelitian membuktikan, gairah seksual perempuan tetap muncul jauh setelah masa  menopause. Bahkan sebagian perempuan baru menikmati kehidupan seksualnya pada masa itu.

--