Find Us On Social Media :

Pernikahan Dini Marak, Angka kematian Ibu Tinggi

By Ade Sulaeman, Selasa, 6 Oktober 2015 | 17:50 WIB

Pernikahan Dini Marak, Angka kematian Ibu Tinggi

Intisari-Online.com - Maraknya pernikahan usia dini berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu. Karena itu, pendewasaan usia pernikahan dan pembekalan pengetahuan kesehatan reproduksi mesti dilakukan. Sebab, upaya menurunkan kematian ibu saat hamil, persalinan, dan masa nifas sulit dilakukan tanpa menyiapkan kehamilan ibu sejak dini.

"Perkawinan usia dini memicu tingginya angka kematian ibu," kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso, Senin (5/10), di Jakarta.

Pernikahan usia dini termasuk faktor risiko kematian ibu. Risiko kematian ibu naik jika hamil di usia terlalu muda, jarak antarkehamilan terlalu rapat, jumlah anak terlalu banyak, dan hamil di usia terlalu tua.

Dari sisi kesehatan, organ reproduksi perempuan berusia di bawah 19 tahun belum matang sehingga menikah dan hamil di usia itu berisiko tinggi, seperti perdarahan. Di usia itu, pengetahuan kesehatan reproduksi remaja juga kurang.

Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini (19 tahun ke bawah) 46,7 persen. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14 tahun hampir 5 persen.

Selain pendewasaan usia pernikahan, calon ibu juga harus berstatus gizi baik sejak remaja, bahkan anak-anak. Jika status gizi calon ibu kurang, kehamilan kurang gizi memicu anemia yang berdampak buruk pada janin. Pengetahuan gizi dan kesehatan reproduksi yang baik bisa diperoleh dari tenaga kesehatan dan sekolah.

Banyak sektor

Oleh karena itu, penyiapan ibu hamil mesti dilakukan melalui banyak sektor. Melalui wajib belajar 12 tahun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mendewasakan usia pernikahan. Penyiapan calon ibu juga dapat dilakukan Kementerian Agama saat memberikan pengajaran kepada calon pengantin. Adapun Kementerian Kesehatan menyiapkan tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi.

Menurut Sudibyo, BKKBN selama ini mengedukasi guru Bimbingan Konseling dan konselor sebaya mulai dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi tentang kesehatan reproduksi.

Direktur Jenderal Bina Gizi serta Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Anung Sugihantono menambahkan, angka kematian ibu sulit ditekan jika angka fertilitas total (TFR) stagnan 2,6 dan cakupan KB hanya 60 persen.

Sementara itu, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi mengatakan, seiring masuknya Indonesia pada fase bonus demografi, jumlah warga usia produktif akan bertambah besar. Artinya, potensi pernikahan dini dan kehamilan kian besar. Jika tidak segera diatasi, penurunan angka kematian ibu melahirkan kian sulit dilakukan dan memberi tekanan besar bagi soal kependudukan Indonesia.

Pedesaan