Find Us On Social Media :

Harga Diri (3): Mengapa Kita Bisa Menilai Rendah Diri Sendiri?

By Birgitta Ajeng, Selasa, 24 Desember 2013 | 07:00 WIB

Harga Diri (3): Mengapa Kita Bisa Menilai Rendah Diri Sendiri?

Intisari-Online.com - Martin Seligman, salah satu pelopor psikologi positif yang juga mengajar di University of Pennsylvania, adalah orang yang pertama kali mengemukakan istilah ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness).Dari penelitian yang dilakukan, ia menyimpulkan bahwa manusia dapat hilang kepercayaan atas kemampuan dirinya jika berulang kali terpapar pada kegagalan. Terus menerus menjumpai kegagalan, lama kelamaan orang itu akan belajar untuk meyakini bahwa apa pun yang dilakukannya tidak akan menghasilkan sesuatu.Dengan perkataan lain, kegagalan berulang sangat berpotensi untuk membuat seseorang menilai diri secara negatif.Wesley adalah gambaran yang tepat dari orang yang menilai diri rendah akibat sering mengalami kegagalan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penilaian diri negatif yang dilakukan Wesley atau orang-orang seperti Wesley masih memiliki penyebab yang secara umum dapat dimaknai sebagai hal yang tidak menyenangkan.Penghargaan rendah yang diberikannya terhadap dirinya seolah masih dapat dimaklumi karena memang ada peristiwa negatif (kegagalan) yang ia alami.Namun perlu diperhatikan bahwa dengan atau tanpa alasan, mengalami perasaan diri tidak berharga secara terus menerus jelas menunjukkan kondisi tidak sehat secara psikologis. Karena tidak semua orang yang gagal akan menilai dirinya secara negatif. Ada hal yang membedakan antara orang gagal yang semakin gagal dengan orang gagal yang dapat bangkit dari kegagalannya.Albert Ellis, pencipta Rational Emotive Therapy, menjelaskan mengenai pembeda itu. Menurut dia, bukan sebuah peristiwa negatif yang akan membuat seseorang mengalami self-esteem rendah.Namun lebih kepada interpretasi orang tersebut pada peristiwa yang dialaminya. Kegagalan adalah hal yang dapat dialami siapapun, namun penilaian diri yang negatif hanya akan terjadi pada orang yang memaknai kegagalan itu secara negatif.Pandangan Albert Ellis tidak hanya berlaku untuk kegagalan tetapi juga aspek-aspek diri yang lain. Kecenderungan orang yang memiliki self-esteem rendah adalah melihat kepada kekurangan-kekurangannya sebagai upaya pembenaran. Harus diakui hal itu akan sangat mudah dilakukan karena manusia memang tidak sempurna.Lihatlah satu persatu bagian wajah atau tubuh kita, tentunya tidak sulit untuk melihat bagian mana yang kurang. Atau cobalah tengok identitas sosial kita yang juga bisa membentuk self-esteem kita.Kelompok minoritas mungkin lebih rentan untuk menilai diri secara negatif. Namun kembali lagi toh tidak semua anggota kelompok minoritas melakukannya. Karena penghargaan terhadap diri kita sendiri tidak bergantung pada aspek diri semata, melainkan pada pemaknaan kita terhadap aspek diri tersebut.Kita lihat saja kasus Anton di atas. Secara umum, pihak luar tidak akan menemukan kekurangan yang cukup berarti dalam dirinya. Ia terbilang sukses untuk orang seusianya yang belum genap 28 tahun.Namun ia memaknai dirinya sendiri secara negatif. la terpaku pada aspek dirinya yang kurang dan mengabaikan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Dalam pandangan Aaron T. Beck, penggagas terapi kognitif, Anton telah melakukan distorsi pikiran berupa penggeneralisasian berlebihan (overgeneralization). Jadi dari satu aspek negatif dalam dirinya, ia memaknai dirinya negatif secara keseluruhan.(Bersambung)--Tulisan ini ditulis oleh Ester Lianawati, psikolog, pengajar pada Fakultas Psikologi UKRIDA di Majalah Intisari Edisi Mind Body & Soul tahun 2008. judul asli tulisan ini adalah "Mari Belajar Hargai Diri Sendiri".