Find Us On Social Media :

Harga Diri (5): Berdamai dengan Kegagalan

By Birgitta Ajeng, Selasa, 24 Desember 2013 | 09:00 WIB

Harga Diri (5): Berdamai dengan Kegagalan

Intisari-Online.com - Bicara masalah interpretasi terhadap aspek diri dan kegagalan, kita dapat belajar dari Thomas Alfa Edison. Untuk dapat menemukan lampu pijar yang menyala, ia telah mengalami kegagalan sebanyak 9.998 kali. Namun ia tidak pernah putus asa. Bahkan ia memaknai kegagalannya dengan sangat positif.Menurut Edison, kegagalan itu telah membuatnya mengetahui ribuan cara agar lampu pijar tidak menyala. Thomas Alfa Edison juga dapat dijadikan contoh pribadi yang memiliki keyakinan bahwa ia mampu (self-efficacy beliefs). Seseorang yang meyakini bahwa ia mampu umumnya benar-benar akan mampu melakukannya. Di sini sama sekali tidak terkandung unsur gaib.Penjelasannya sangat logis dan rasional. Ketika kita yakin bahwa kita bisa, kita tidak akan mudah cemas ataupun panik dalam melakukan sesuatu. Kita dapat lebih tenang, pikiran pun lebih jernih untuk menemukan cara-cara pengerjaan yang efektif dan efisien.Dengan ketenangan ini, kita tetap dapat berusaha mencari jalan lain saat kita menemui kegagalan. Oleh sebab itu, keyakinan semacam ini akan sangat membantu ketika seseorang menghadapi kegagalan.Perspektif yang kedua, yaitu top down, datang dari Jonathan Brown dan Keith Dutton. Menurut kedua psikolog ini, kita tidak perlu memiliki beragam aspek diri yang berkembang baik untuk dapat menghargai diri kita sendiri. Yang perlu dilakukan hanyalah kita mencintai diri sendiri. Jika kita dapat mencintai diri sendiri, otomatis kita dapat melihat kelebihan-kelebihan yang terpancar dalam diri kita.Brown dan Dutton menganalogikan pandangannya ini dengan pasangan muda yang jatuh cinta pada bayi pertama mereka yang baru lahir. Otomatis semua yang ada pada bayi mereka akan terlihat begitu menarik. Karena mencintai si bayi secara keseluruhan, mereka dapat melihat betapa menggemaskannya mata, bibir, jemari, dan sebagainya.Orangtua baru ini tidak menilai terlebih dahulu kaki dan tangan si bayi untuk kemudian menentukan bobot nilai si bayi. Jadi kita tidak perlu melihat aspek diri yang berkembang baik terlebih dahulu untuk dapat memberikan penghargaan sebesar-besarnya pada diri kita.Cukup dengan mencintai diri, maka kita dapat melihat betapa berharganya diri kita. Pandangan ini awalnya digunakan untuk menumbuhkan harga diri pada orang-orang seperti Anton. Anton adalah gambaran pribadi yang tidak mampu mencintai dirinya sendiri. Padahal jika Anton mencintai dirinya sendiri, semestinya ia mampu melihat begitu banyak hal positif dalam dirinya.(Bersambung)--Tulisan ini ditulis oleh Ester Lianawati, psikolog, pengajar pada Fakultas Psikologi UKRIDA di Majalah Intisari Edisi Mind Body & Soul tahun 2008. judul asli tulisan ini adalah "Mari Belajar Hargai Diri Sendiri".