Perawan Maria, Mengapa Kita Percaya?

Moh Habib Asyhad

Penulis

Perawan Maria, Mengapa Kita Percaya?

Intisari-Online.com -Sekitar tiga per empat warga Amerika Serikat percaya dengan Perawan Maria berdasar survei yang dilakukan baru-baru ini. Bagi beberapa pakar, fenomena ini tidak begitu mengherankan baginya.

Dari segi kognitif, otak manusia yang prima cenderung percaya dengan sesuatu yang supranatural dan ilahiah. Termasuk juga percaya terhadap kelahiran Yesus Yang Suci.

“Orang-orang merasa adalah sesuatu yang sangat masuk akal untuk percaya pada realitas supranatural. Pengetahuan ilmiah bukanlah satu-satunya ilmu pengetahuan,” tulis Stacy Transancos dalam blognya yang berjudul Science was Born of Christianity.

Peristiwa supranatural

Dalam beberapa hal, otak manusia yang prima akan cenderung mempertahankan kepercayaan supranaturalnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew pada 2010 silam menemukan 80 persen orang AS percaya pada keajaiban, dan 73 persennya percaya dengan kelahiran Yesus dari Maria yang perawan.

Studi lain yang dilakukan pada 2013, yang diterbitkan oleh jurnal Perspectives on Psichological Science, Will Gervais, mengajukan hepotesa baru bahwa kemampuan untuk memahami Tuhan dan hal-hal supranatural lainnya adalah produk turunan dari apa yang disebut teori pikiran. Psikolog dari University of Kentucky itu juga menegaskan, setiap orang mempunyai imajinasi otak pada dirinya.

“Lebih dari 90 persen orang Amerika percaya adanya Tuhan dan mempunyai kapasitas untuk mendeteksi keberadaan makhluk transenden lainnya. Misalnya, ketika ada suara di semak-semak dan kita tidak menemukan seseorang pun di sana, pikiran kita akan langsung membuat asumsi, bahwa suarau itu sifatnya metafisis,” ujar Wade Rowatt, psikolog dan neurosaintis di Baylor University, Texas.

Selain itu, manusia juga memiliki bias kognitif yang membentuk dualisme pikiran dan tubuh yang memungkinkan pikiran dan tubuh secara inheren terpisahkan. Keyakinan itu mungkin terjadi karena orang memiliki sistem kognitif yang terpisah untuk menavigasi dunia fisik versus realitas sosial.

Di sisi lain, manusia memiliki kecenderungan alami untuk melihat metafora dan simbol harfiah lainnya dari waktu ke waktu. Bertolak dari kepercayaan terhadap Tuhan, rasanya kepercayaan terhadap kelahiran perawan Maria sepertinya menjadi hal yang tak dibuat-buat.

Bagaimana dengan ilmuan?

Mujizat adalah sesuatu yang sering diperdebatkan oleh para ilmuan sains, yang akan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah untuk mendedah alam semesta. Bahkan, beberapa ilmuan tidak berpikir percaya terhadap keajaiban sebagai sesuatu yang istimewa.

Sejatinya, para ilmuan tersebut berada dalam posisi yang dilematis. Misalnya, fisikawan tidak sepakat dengan apa yang terjadi ketika mereka melalukan pengukuran partikel kecil dalam sistem kuatum. Di waktu bersamaan, mekanika kuantum telah telah mengatur sesuatu yang sangat kecil, telah dibuktikan sebagai sebuah teori yang bisa diaplikasikan.

Atau, para ilmuan kerap bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi setelah berdoa, tapi ada bukti lain yang cukup bahwa doa sangat penting untuk melatih diri.

“Para ilmuan akan selalu berkutat pada hukum yang sifatnya positif dan empiris. Para ketika dibenturkan pada realitas sosial semuanya berbeda. Meski kita tidak tahu bagaimana sesuatu yang metafisis itu bekerja, tapi kita akan yakin karena kita merasakannya,” ujar Trasancos.