Menjaga Perkawinan Tetap Aman (4): Jangan Batasi Dialog Seksual

Moh Habib Asyhad

Penulis

Menjaga Perkawinan Tetap Aman (4): Jangan Batasi Dialog Seksual

Intisari-Online.com -Setiap pasangan memiliki aturan khusus yang dibuat untuk memberikan pengaruh bagi terciptanya kehidupan keluarga yang berkualitas baik.Schwebel dkk. (1980) mengungkap empat area perilaku intim yang patut dipertimbangkan oleh keluarga muda, agar konflik-konflik yang timbul dalam masa tujuh tahun pertama usia per- kawinan dapat diatasi dengan hasil baik.

Pertama, keintiman relasi cinta-kasih yang saling mendukung. Jenis relasi ini mengacapada saling memperhatikan, lembut, dan penuh pengertian satu sama lain, yang membuat kedua pasangan merasa dihargai dan dianggap penting. Kondisi penuh kasih ini akan membuat pasangan menjadi lebih kuat saat menghadapi situasi stres.Hal itu tidak tergantikan oleh apa pun karena mengetahui bahwa pasangan kita selalu disamping kita saat dibutuhkan, yang selalu bersikap membantu dan mendukung membuat kehidupan menjadi lebih mudah dan sekaligus menciptakan loyalitas kokoh pada keluarga.

Kedua, keintiman seksual. Ini merupakan hal terpenting yang harus dibina sejak awal perkawinan. Sikap seksuai positif harus dibina antarpasangan, dalam arti kedua pasangan menempatkan masalah seksuai dalam posisi yang positif, terbuka dalam mendiskusikannya tanpa rasa enggan dan malu.Kebanyakan orang enggan dan ragu untuk secara bebas mengutarakan pendapat tentang masalah keintiman seksuai terutama bila terkait dengan kebutuhan personalnya. Keadaan ini harus dihindari, karena bila dialog tentang masalah seksuai dengan pasangan dibatasi, maka salah satu atau bahkan kedua pasangan bisa mengalami frustrasi seksual yang berlanjut dalam kehidupan perkawinannya kelak.

Hal lain yang perlu disimak, kebersamaan hakiki yang nyaman dalam kehidupan keseharian antarpasangan justru akan berpengaruh positif dan meningkatkan kenyamanan dalam keintiman seksuai.Keintiman suportif itu, yang terungkap dalam sikap mendukung dan mendampingi pasangan saat dibutuhkan, dapat dipastikan meningkatkan ekspresi seksuai di antara pasangan. Jadi, kemarahan yang tertahan akan membuatbloking dalam relasi seksual.

Ketiga, keintiman dalam kegiatan di waktu senggang. Lima hari dalam seminggu masing-masing pasangan melakukan kegiatan berbeda sesuai dengan karier yang sedang dijalani. Sore hari, akhir minggu, dan masa cuti merupakan peluang pasangan untuk menikmati hari-hari istirahat yang menyenangkan. Dengan melakukan permainan bersama, maka pengertian di antara mereka akan semakin meningkat. Apalagi bila aktivitas bersama itu diselingi ungkapan humor yang membuat kedua pasangan merasa rileks. Contohnya, "Ya, Allah, dingin banget sih hari ini"; "Sini-sini, Papa akan membantu Allah menghangatkan badanmu", sambil kemudian suami memeluk istrinya.

Keempat, keintiman dengan keluarga besar kedua pasangan. Untuk beberapa keluarga, keintiman antarkedua pasangan perkawinan akan diperkaya dengan relasi yang terjalin baik dengan keluarga besar, seperti orangtua, mertua, paman, bibi, ipar dari kedua belah pihak. Berkumpul saat-saat Hari Natal, Tahun Baru, atau Lebaran membuat kedua pasangan memperoleh perasaan diterima di keluarga besar dan meningkatkan penerimaan masing-masing akan pasangannya. Tentu saja, kebersamaan dengan keluarga besar seyogianya terbebas dari rasa iri hati akan keberhasilan lebih dari anggota keluarga lain. Yang penting, pengantin baru ini berupaya untuk bebas dari ketergantungan sosial - ekonomi, baik dari kedua orangtua ataupun keluarga besarnya.

Tumbuhkan oasis keintiman

Apa yang terjadi seandainya keempat perilaku intim tadi tidak tumbuh dalam sebuah perkawinan? Oasis keintiman akan menghilang tentunya. Akibatnya bisa runyam, sebab dinamika interrelasi antarpasangan akan diwarnai beberapa kejadian.

Kedua pasangan merasa kesepian. Mereka merasa sendiri dengan problem-problem mereka, merasa tidak dipahami dan merasa tidak mampu menjelaskan apa yang mereka inginkan untuk mendapatkan simpati.

Kedua pasangan merasa ditolak sehingga merasa tidak diinginkan dan tidak aman dalam kebersamaannya. Kedua pasangan menderita oleh kekurangan komunikasi. Tidak mampu berbicara dengan manis tentang problem mereka dan tidak mampu menghadapi problem.

Artikel ini pernah ditulis oleh Sawitri Supardi Sadarjoen, Guru Besar pada bidang psikologi klinis, Fak. Psikologi Unpad, Bandung, dalamIntisariEdisiHealthy Sexual Life 3, tahun 2007, dengan judul asli "7 Tahun Usia Rawan Perkawinan".