Penulis
Intisari-Online.com -Mahatma Gandhi berujar, salah satu dari tujuh dosa fatal manusia adalah jika kita memberi “education without character”, pendidikan tanpa karakter. Pernyataan Gandhi diperkuat oleh Martin Luther King: kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya.
Memperkenalkan pendidikan karakter kepada anak sejak dini penting adanya. Ki Hajar Dewantara dengan idealismenya berpendapat, pendidikan bukan sekadar memberi pengetahuan, tapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan umat manusia.
Orangtua sebagai sumber terpercaya
Lalu siapa yang berperan memberi pendidikan karakter kepada anak?
Pada hakikatnya, jiwa kepemimpinan adalah bakat yang dibawa sejak lahir. Tapi psikolog anak dan keluarga di Medikids, Jakarta, Chrysant Karmadi, yakin, kepemimpinan seseorang adalah sesuatu yang bisa dipupuk dan dikembangkan.
Caranya peran anak di rumah dan di sekolah harus berkesinambungan. Rumah melatih kepribadiannya, sedangkan sekolah adalah pembuktian rasa sosial. “Sejauh mana dia berperan di tengah teman-temannya,” ujar Chrysant.
Anak-anak dan remaja cenderung meniru sesuatu yang paling dekat dengan dirinya. Seto Mulyadi, 62 tahun, doktor psikologi sekaligus pemerhati anak, mengingatkan, anak adalah peniru paling baik di dunia. Dia meniru apa saja yang dekat, seperti televisi atau teman. Peran orangtua sangat dibutuhkan.
“Anak merasa dekat dengan sesuatu yang menurut dia setara. Jika tiap hari dekat dengan berita-berita tentang perbuatan-perbuatan yang tercela, kemungkinan si anak akan terpengaruh. Yang paling penting, bagaimana orangtua memposisikan dirinya seagai “teman”, bukan sebagai atasan yang harus dihormati,” ujar psikolog yang akrab dipanggil Kak Seto ini.
Memposikan diri sebagai satu-satunya sumber terpercaya bagi anak-anak, lanjut Kak Seto, adalah hal yang wajib dilakukan oleh orangtua. Posisi ini penting.
Saat anak menganggap orangtua adalah rujukan paling tepat, mereka akan selalu bertanya kepada bapak atau ibu, apakah sesuatu itu benar atau salah.
Kepercayaan tentu saja akan didapat jika perkataan orangtua tidak berlawanan dengan perbuatannya. “Menyuruh anak pergi sembahyang, tapi dia sendiri tidak, misalnya.” Hal-hal simpel seperti itu, menurut Kak Seto, adalah faktor yang mempengaruhi kepercayaan anak terhadap bapak-ibunya.