Find Us On Social Media :

Seperempat Anak Korban Tsunami Jepang Butuh Psikiater

By Moh Habib Asyhad, Kamis, 30 Januari 2014 | 07:00 WIB

Seperempat Anak Korban Tsunami Jepang Butuh Psikiater

Intisari-Online.com - Seperempat anak korban tsunami Jepang 2011 mengalami gangguan kejiawaan. Sebuah laporan resmi pemerintah setempat menegaskan, jika tidak ada penanganan cepat, problem ini akan bertahan seumur hidup si anak.

Para peneliti menemukan, 25,9 persen anak berusia tiga hingga lima tahun menderita gejala seperti vertigo, mual, dan sakit kepala. Para peneliti juga menemukan ada indikasi masalah kejiwaan yang berujung pada kekerasan dan sifat minder. 

Rata-rata, kegelisahan yang dialami oleh anak-anak tersebut disebabkan oleh teman-teman yang hilang, rumah yang runtuh, juga karena terpisah dari orangtua sejak, juga trauma yang disebabkan gulungan ombak yang tinggi yang menghajar pemukiman mereka.

Tim peneliti yang dipimpin oleh profesor Shigoe Kure dari Tohoku University School of Medicine mengatakan, jika anak-anak tidak segera mendapatkan perawatan yang diperlukan, bisa menyebabkan masalah yang jauh lebih buruk di kemudian hari, termasuk gangguan perkembangan dan kesulitan belajar.

“Karena mereka mungkin memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain akibat trauma yang mereka rasakan sejak ombak menggulung pemukimannya dulu,” ujar Kure kepada AFP.

Masih kurang psikiater

Bencana yang terjadi di pantai timur Jepang dengan kekuatan 9,0 skala richter pada Maret 2011 itu memakan 18.000 korban jiwa. Bencana itu diklaim sebagai yang terburuk di Jepang setelah Perang Dunia ke-2, apalagi ditambah isu kebocoran reaktor nuklir di Fukushima yang mengirim puluhan ribu orang mengungsi dari radiasi.

Tapi Kure berjanji bahwa penanganan terhadap anak-anak tersebut akan terus berlangsung. “Anak-anak tersebut telah menerima dan akan terus menerima perawatan kejiwaan di tahun-tahun mendatang, tetapi masalah lain adalah bagaimana dengan anak-anak yang belum teridentifikasi,” kata Kure.

Yang membuat situasi lebih buruk adalah ketersediaan psikiater yang masih langka, misalnya di Sendai yang berpopulasi lebih dari satu juta jiwa. Oleh karena itu, para peneliti mengharap supaya orangtua dan guru lebih memperhatikan sikap anak-anak dengan bertindak sebagai psikiater dadakan.