Lazimkah Cerai tapi Tetap Serumah? (2)

Birgitta Ajeng

Penulis

Lazimkah Cerai tapi Tetap Serumah? (2)

Intisari-Online.com - Cerai tapi tetap serumah? Ya! Praktik seperti ini belakangan marak terjadi di masyarakat kita, terutama di kalangan selebritas. Pasangan suami-istri yang sudah bercerai tetap tinggal satu atap bersama anak-anak. Katanya sih, mereka melakukan ini demi anak. Mereka ingin tetap mengasuh anak bersama-sama meski sudah cerai.

Tapi apakah benar keputusan ini baik untuk anak? Tika Bisono, seorang psikolog keluarga, secara tegas mengatakan bahwa pengorbanan seperti ini tidak realistis. Dilihat dari sudut psikologis, tinggal seatap meski sudah cerai sama sekali tidak memberi manfaat. Malah lebih banyak menimbulkan dampak negatif.

Dalam tulisan sebelumnya dikatakan, salah besar jika Anda beranggapan bahwa tinggal satu rumah setelah cerai merupakan pengorbanan untuk anak. Bila perceraian terjadi akibat ketidakcocokan, percekcokan, dan perselisihan, tak mungkin orangtua bisa menutup-nutupi terus konflik di antara mereka. Bahasa tubuh dan perubahan kebiasaan lambat laun akan diketahui anak. Si ibu dan bapak tidur di kamar berbeda dan mereka menjadi gampang marah.

(Baca juga: Cara Lindungi Anak dari Perceraian)

Bila mantan suami-istri memutuskan untuk cerai tapi tetap serumah sebaiknya hanya untuk sementara waktu. Bisa dilakukan semacam transisi, pelan-pelan akhirnya hilang. Maksudnya, orangtua bisa tinggal bersama tapi hanya beberapa hari atau beberapa minggu sesuai kesepakatan. “Misalnya ayah sehari tidak ada di rumah, kemudian dua hari tidak ada, tiga hari, akhirnya satu minggu tidak di rumah,“ kata Tika.

Pilihan seperti ini lebih masuk akal. Hal ini lebih ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar lebih mudah menjalani masa transisi proses perceraian orangtuanya. Dengan catatan orangtua berusaha menahan diri untuk tidak “perang“ di depan anak.

Mempersiapkan mental anak menghadapi perubahan besar dalam hidup mereka jelas penting dilakukan. Ketika orangtua sudah memutuskan untuk bercerai, mereka harus memberi tahu putra- putrinya. Bahwa secara perlahan- lahan akan terjadi berbagai perubahan.

Anak juga perlu diberi penjelasan bahwa ibu dan bapaknya sudah bercerai dan dalam waktu dekat mereka tidak akan tinggal serumah. Jelaskan juga alasan kenapa harus bercerai. “Sayang, ibu dan bapak sudah cerai karena tidak bisa akur lagi. Tapi sebagai ayah dan ibu kami tetap adalah super mom dan super dad buat kamu,” kata Tika memberi contoh. Ungkapan seperti ini mencerminkan kejujuran dan menunjukkan bahwa hak anak tidak terbengkalai.

(Baca juga: Dampak Perceraian pada Anak)

Lantas bila hak pengasuhan anak jatuh ke tangan ibu, beritahukan pula kalau nanti si anak tidak serumah dengan ayah. Begitu pula sebaliknya. Pasti sulit menerangkan hal yang cukup rumit ini kepada anak. Jadi, gunakan bahasa sesederhana mungkin. Sangat mungkin Anda perlu menjelaskannya berulang kali. Tak masalah. Usaha ini memang membutuhkan ketelatenan.

Kalau dirasa tidak mampu melakukannya sendiri dan khawatir anak bakal memiliki persepsi negatif, tak masalah bila orangtua meminta bantuan ahli, seperti psikolog untuk menjelaskannya.

Masa transisi yang cukup berat ini akan sangat membantu mempersiapkan kehidupan emosional anak. Sekaligus membantunya untuk merasa aman karena ia masih tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya meski mereka telah bercerai.

-bersambung-

Tulisan ini ditulis di Majalah Intisari Extra Februari 2014: Inspirasi Cerdas Rumah & Keluarga dengan judul asli Cerai Tapi Serumah itu Tak Lazim.