Find Us On Social Media :

EQ Lebih Penting daripada IQ: Intinya di Komunikasi

By Moh Habib Asyhad, Sabtu, 29 November 2014 | 16:00 WIB

EQ Lebih Penting daripada IQ: Intinya di Komunikasi

Intisari-Online.com - Banyak orangtua beranggapan bahwa faktor utama kecerdasan seorang anak tergantung pada IQ (Intelligence Quotient). Bahwa mereka yang sukses adalah mereka yang juara matematika di kelas, atau mereka yang juara olimpiade fisika berkali-kali. Bukan, anak yang sukses adalah dengan kadar EQ (Emotional Quotient) bagus. beberapa psikolog sepakat, EQ lebih penting daripada IQ.

---

EQ bukan bawaan sedari lahir, ia harus dilatih dan ditumbuhkan. Untuk menumbuhkan itu, orangtua harus memiliki komunikasi yang baik supaya si anak mau diajak bekerja sama untuk menumbuhkan kecerdasan emosionalnya. Komunikasi yang berjalan lancar antara orangtua dan anak membuat keduanya bisa saling bertukar informasi serta bisa memahami isi hati masing-masing.

Anak yang sudah dipahami hatinya oleh siapa pun, terlebih orangtua, kemungkinan besar bisa menerima dirinya dengan utuh. Penerimaan inilah, yang menurut Bunda Hana, menjadi fondasi anak untuk perkembangan kecerdasan mentalnya.

“Ada penelitian yang menyebut, kecenderungan gangguan kejiwaan pada anak disebabkan adanya hambatan berkomunikasi dengan orangtuanya, terlebih ibu,” ujar perempuan dengan dua orang anak ini.

Sejatinya ini bukan soal yang sulit, banyak cara bisa dilakukan orangtua untuk berkomunikasi dengan anaknya. Sedikit tips, setidaknya ada empat cara yang bisa dilaukan orangtua untuk membangun komunikasi dengan si anak.

Pertama, memberi emotional first aid sedini mungkin. Anak biasanya belum memiliki kemampuan untuk memahami perasaannya, tapi kepekaannya dapat berkembang jika ada dorongan untuk mengungkapkan  perasaannya. Misalnya dengan ungkapan-ungkapan seperti “Kelihatannya kamu sangat marah?”, “Wah, kamu senang ya bisa pergi ke rumah nenek?”, dan lain sebagainya.

Kedua, saat anak bercerita, posisikan diri sebagai pendengar terbaik yang aktif. Fokuskan perhatian pada emosi yang muncul dari cerita si anak serta sesekali membantunya mengenali perasaan tersebut. “Ya, ibu bisa mengerti perasaanmu. Lalu bagaimana terusannya?”, kalimat-kalimat tersebut bisa dijadikan bahan pancingan untuk terlibat dalam emosi si anak.

Ketiga, orangtua bisa menunjukkan sikap empati, sikap ini mencoba untuk merespon dengan tulus perasaan anak tanpa ikut menjadi emosional. Misalnya, jika anak merasa takut, sedih, marah, maka orangtua harus memberi dukungan secara sportif tanpa harus ikut menjadi takut, marah, sedih, dan cemas. Keempat, orangtua harus bisa tulus menerima isi hati dan pikiran anak. Menerima di sini bukan berarti setuju dengan setiap keputusannya.EQ lebih penting daripada IQ. Tapi itu tidak didapat dengan mudah, dibutuhkan latihan, juga komunikasi dari orangtua.