Find Us On Social Media :

Membuang Trauma Setelah Mengalami Pengalaman Pahit (1)

By Birgitta Ajeng, Kamis, 1 Januari 2015 | 09:00 WIB

Membuang Trauma Setelah Mengalami Pengalaman Pahit (1)

Intisari-Online.com - Di dalam hidup, manusia terkadang harus mengalami segenap peristiwa yang tidak diinginkan. Beberapa pengalaman negatif yang ditolak dapat menimbulkan trauma psikologis yang sulit hilang dan ingatan. Jangan biarkan trauma itu berlarut-larut, jika tidak ingin mengalami dampak yang lebih buruk. Berikut ini adalah langkah untuk membuang trauma setelah mengalami pengalaman pahit.

---

Kata orang, saat ini negeri kita sedang mengalami serangkaian ujian. Bencana longsor menimpa satu Dusun Jemblung di Desa Sampang, Banjarnegara. Kemudian disusul dengan tragedi kecelakaan Pesawat AirAsia QZ 8501.

Tentu bencana yang datang bertubi-tubi itu menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil yang tidak kecil. Tapi, warga yang terkena musibah masih harus menanggung beban moril, berupa trauma psikologis. Mereka umumnya korban yang tidak mudah menerima kenyataan bahwa orang-orang terdekatnya meninggal, harta bendanya porak-poranda, bahkan musnah tak tentu rimbanya.

Tidak terima, timbul trauma

Seiring maraknya bencana, telinga kita seolah akrab dengan istilah trauma. Meskipun sehari-hari kita pun sering mendengar orang menyebutkannya untuk menggambarkan akibat dari suatu peristiwa yang tidak mengenakkan dan tidak ingin dialami lagi oleh seseorang.

llmu psikologi menyebut trauma berkaitan dengan luka atau keterkejutan akibat pengalaman yang begitu mengagetkan. Situasinya melebihi stres yang kita alami sehari-hari dalam kondisi wajar. Misalnya, kematian anggota keluarga, perceraian, PHK, kecelakaan, perang, atau bencana alam.

Bukan cuma jadi kenangan buruk, trauma juga menimbulkan gangguan stres pascatrauma. Gejalanya, ingatan pada penyebabnya terus-menerus berlangsung, bahkan seakan masih terjadi sehingga penderita sulit mengendalikan perasaan. Kewaspadaannya berlebihan untuk melindungi diri sehingga sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih. Bisa juga muncul gangguan-gangguan fisik seperti sulit tidur, mimpi buruk, bahkan perasaan mual, muntah, atau tidak berselera makan.

Ada berbagai penjelasan tentang penyebab trauma. Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik di Jakarta, menggambarkan trauma sebagai suatu pengalaman yang tidak bisa diterima seseorang. "Waktu kejadian itu diingat kembali, akan timbul ketidaknyamanan di tubuh, pikiran, atau jiwa," tuturnya. Kejadiannya bisa apa saja, tidak terikat pada tata nilai tertentu.

Memori tentang suatu pengalaman traumatik, jelas Reza, tersimpan di lokasi penyimpanan otak yang berbeda dengan penyimpanan memori pengalaman sehari-sehari. Ketika memori traumatik sedang aktif - yang bisa teringat secara sadar maupun aktif di bawah sadar - akan muncul rasa tidak nyaman.

Trauma menjadi sesuatu yang menyiksa, karena sering diatasi dengan cara kurang tepat. Umumnya, untuk mengatasi hal itu kita melakukan supressing atau menekan persoalan, dengan berusaha tidak memikirkan semua beban hidup. Padahal menekan persoalan ke alam pikiran bawah-sadar ibarat mencelupkan bola karet ke dalam air. Bola akan selalu ber usaha muncul ke permukaan. Agar tidak kembali muncul (ke alam pikiran sadar), dibutuhkan penahan.

Seiring berlalunya waktu, cara supressing membutuhkan penahan yang semakin banyak jumlahnya. Pikiran bawah sadar yang terkait dengan fisik juga membutuhkan banyak energi untuk menghidupi penahan-penahan itu. Walhasil, energi tubuh terkuras hingga mungkin tekor, lalu muncullah berbagai gangguan fisik yang berbentuk penyakit.