Find Us On Social Media :

Membuang Trauma Setelah Mengalami Pengalaman Pahit (3)

By Birgitta Ajeng, Kamis, 1 Januari 2015 | 11:00 WIB

Membuang Trauma Setelah Mengalami Pengalaman Pahit (3)

Intisari-Online.com - Di dalam hidup, manusia terkadang harus mengalami segenap peristiwa yang tidak diinginkan. Beberapa pengalaman negatif yang ditolak dapat menimbulkan trauma psikologis yang sulit hilang dan ingatan. Jangan biarkan trauma itu berlarut-larut, jika tidak ingin mengalami dampak yang lebih buruk. Berikut ini adalah langkah untuk membuang trauma setelah mengalami pengalaman pahit.

---

Reza tidak menolak kenyataan, ada orang-orang tertentu yang mampu bertahan dalam situasi yang berpotensi menimbulkan trauma. Misalnya, seseorang tetap nyaman bekerja di lingkungan berbahaya, menghadapi bos yang kasar, atau rekan-rekan kerja yang saling menjegal. "Karena trauma bukan muncul atas apa yang terjadi pada diri kita, tetapi bagaimana kita memandang dan merespons suatu peristiwa," tutur terapis lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Sebuah kata kasar seperti, "Brengsek kamu!", akan ditanggapi secara berbeda oleh tiap orang. Si A bereaksi marah, si B menangis, sedangkan si C hanya tertawa saja mendengarnya karena mungkin ia sudah tahu situasi di balik umpatan itu. Jika kita selalu dapat bersikap seperti C, yaitu memandang segala persoalan dengan santai, maka tidak akan timbul trauma dan respons tubuh tidak akan negatif.

Pengembangan modal ikhlas yang ada pada diri seseorang, selanjutnya bergantung pada proses-proses pembelajaran sepanjang hidup orang itu. Jika dikembangkan, akan terbentuk suatu cara pandang yang bermanfaat dalam menghadapi berbagai-masalah yang niscaya selalu ada sepanjang hidup. Manfaatnya, agar tidak terbentuk trauma-trauma baru.

Menurut Reza, seseorang yang terus dimotivasi untuk selalu optimistis dalam kehidupan akan selalu mengandalkan otak (bukan hati) dan cenderung tidak realistis. Jika suatu saat menemui kegagalan, ia cenderung berpikir optimistis untuk bangkit kembali dan terus berbuat begitu dalam balutan optimisme.

Reza bukan hendak menyalahkan mereka yang penuh dengan motivasi optimistik, tapi sebelum bangkit kembali dari sebuah kegagalan, sebaiknya seseorang perlu mengikhlaskan lebih dulu perasaannya.

"Ajaran optimisme ini membuat orang cenderung lupa pada urusan rasa atau hatinya. la akan terus dan terus berambisi tapi risikonya 'korslet' di hatinya bakal lebih parah. Jika kegagalan diikhlaskan terlebih dulu, maka saat berusaha bangkit kembali, rasanya akan lebih enteng," jelasnya.

Ada pula sebuah pembelajaran di mana seseorang selalu mengafirmasi diri berulang-ulang melalui sebuah kata-kata bernada keyakinan. Misalnya, berucap dalam hati, "Saya mampu bangkit ... saya mampu bangkit ..." untuk menghadapi kegagalannya. Cara ini memang terbukti cukup efektif dalam membangkitkan semangat.

Namun, dalam pandangan Reza, cara ini hanya akan membuat seseorang tidak pernah belajar mencintai kenyataan saat ini dan hanya melihat ilusi masa depan sehingga tercipta rasa nyaman dalam hatinya. Padahal ada banyak kemungkinan dalam hidup yang selalu berubah, termasuk segala kemungkinan kegagalan di masa datang.

"Konsep ikhlas tidak bicara tentang pengalaman buruk masa lalu maupun kekhawatiran di masa depan, tapi tentang saat ini. Segala pengalaman buruk atau kekhawatiran merupakan penjara dari pikiran kita saja," jelasnya.

Tulisan Membuang Trauma Setelah Mengalami Pengalaman Pahit (1) yang ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro ini dimuat di Majalah Intisari Edisi Khusus Mind Body & Soul 2006 dengan judul asli Membuang Trauma Ala Hipnoterapi.

-selesai-