Penulis
Intisari-Online.com -Setiap paginya, Kanai Das pergi ke stasiun kereta api di Baruipur, Bengal Barat, India. Ia akan berdiri di salah satu sisinya dengan tangan menengadah. Dengan sabar ia menunggu kebaikan para pejalan yang lalu lalang untuk memberinya kurang lebih 290 ruppee (sekitar Rp60 ribu) per hari.
(Siapa Sangka, Makan Es Krim ketika Sarapan Bagus untuk Kesehatan Mental dan Kewaspadaan)
Tapi pria 42 tahun itu tidak hanya seorang pengemis…
Bagi banyak orang, Kanai Das dianggap sebagai reinkarnasi Dewa Ganesha—Tuhan gajah yang dianggap sebagai “Lord of Obstacles” dan mereka kerap memberinya sedekah—meski jika diperhatikan lebih detail, “belalai” di mukanya, alih-alih mirip belalai, ia lebih seperti gumpalan daging.
Kanai menderita kondisi langka yang disebut sebagai neurofibromatosis (NF)—munculnya neurofibroma alias benjolan seperti daging yang lembut pada kulit atau bagian tubuh lainnya, yang berasal dari jaringan saraf—yang telah merusak wajahnya. Daging-daging yang bergulung-gulung juga menyebabkan mata kanan Kanai lenyap.
(56 Tahun Menjelajahi Samudera, Kapal Induk Tertua di Dunia INS Viraat pun Dipensiunkan AL India)
Ia tidak bisa makan dan berbicara dengan baik dan sangat bergantung ada obat untuk menghilangkan nyeri yang menyerang kulitnya. Dan karena kondisinya cacat, tak seorang pun pernah memberinya pekerjaan yang layak.
“Saya tidak ingin mengemis, tapi saya tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang dan menjaga ibu saya. Orang-orang berpikir bahwa saya adalah (titisan) Tuhan karena belalai saya, tapi saya tidak menyukai anggapan itu.
“Saya memiliki kenangan indah dengan kedua mata saya, tapi beberapa tahun kemudian, mata kanan saya hilang. Saya bisa melihatnya beberapa tahun yang lalu di cermin, tapi sekarang sama sekali tidak bisa karena tertutup daging. Saya bahkan tidak ingat bagaimana saya menggunakannya untuk melihat terakhir kali,” ujar Kanai panjang lebar.
Kanai lahir dengan benjolan di kepalanya dan saat berusia 9 tahun, benjolan itu semakin membesar; menutup matanya, kemudian hidungnya, dan bahkan seluruh wajahnya. Kesedihannya semakin berlarat-larat setelah ibu kandungnya meninggalkannya.
Kanai yang malang terpaksa mengais-ngais sampah di stasiun kereta api untuk mengisi perutnya yang kosong. Sampai suatu hari Bharati Roy, seorang penjaga toko, menemukannya dan memungutnya sebagai anak.
Bharati, sekarang janda berusia 73 tahun, mengatakan: “Saya berada di toko ketika melihat seorang anak muda, malang, sedang memilah-milah sampah untuk makanan. Hidungnya menonjol keluar dan (kulit) mata kanannya mengendur. Saya begitu tersentuh oleh kondisinya dan tidak bisa menahan diri untuk membawanya pulang.”
Meskipun suami dan anak-anak Bharati tidak keberatan dengan keputusan adopsi ini, tapi mereka menolak untuk membantu Kanai dalam kehidupan sehari-hari. “Saya punya 22 anggota keluarga dan tidak ada yang benar-benar membencinya, tapi dengan kondisinya yang sedemikian rupa, tak seorang pun yang ingin menyentuh dan mendekatinya,” tambah Bharati.
Bharati-lah yang melayani semua kebutuhan sehari-hari Kanai. Mulai dari makan, mandi, dan kebutuhannya yang lain. Mereka juga berbagi kamar di sebuah apartemen kecil yang dibangun di daerah yang suatu ketika pernah dikuasai oleh Baharati. Dan kehidupan mereka sangat tergantung pada pendapatan Kanai.
“Orang-orang memujanya sebagai Dewa Ganesha dan memberikan uang kepadanya. Semakin ramai ketika ada festival. Semua orang mencintainya dan mencari berkat-nya. Tapi kami juga perlu berkat. Terutama Kanai yang hidup dengan kondisi yang begitu menyakitkan,” terang Bharati.
Upaya untuk kesembuhan Kanai bukannya tidak pernah. Bharati dan almarhum suaminya pernah membawanya untuk berobat ke beberapa dokter, meskipun mereka selalu punya jawaban sejenis: kondisi Kanai tak bisa disembuhkan.
Tapi Kanai percaya pada keajaiban dan berharap suatu saat bisa melakukan operasi untuk wajah yang lebih baik.
“Saya selalu berdoa kepada Tuhan dan meminta pengampunan. Hidup saya sangat menyakitkan. Saya tidak bisa makan dan berjalan. Saya menumpahkan makanan saat makan. Daging itu seperti sesuatu yang hendak membakar saya, dan sangat gatal. Saya harus selalu meminum obat sehingga nyeri itu reda,” kata Kanai.