Find Us On Social Media :

Kisah Pendiri Whatsapp

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 26 April 2014 | 06:00 WIB

Kisah Pendiri Whatsapp

Intisari-Online.com – Pendiri WhatsApp, lahir dan besar di Ukraina dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia nekat pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang kita kenal sebagai “American Dream”. Pada usia 17 tahun, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. “Hidup begitu pahit”, Koum membatin. Tapi dalam penderitaannya dia tak pernah meninggalkan Tuhan, walau sekelumit doa yang ia ucapkan di antara sela-sela gang sempit tempat dia tertidur. Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesehatan seadanya. Koum lalu kuliah di San Jose University. Tapi kemudian ia memilih keluar, karena lebih suka belajar programmer secara autodidak. Karena keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo!. Ia bekerja di sana selama 10 tahun. Di tempat itu pula, ia berteman akrab dengan Brian Acton. Keduanya membuat aplikasi WhatsApp tahun 2009, setelah resign dari Yahoo!. Keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah menanjak popularitasnya saat itu, namun ditolak. Facebook mungkin kini sangat menyesal pernah menolak lamaran mereka. Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 224 triliun) beberapa waktu lalu, Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu, saat umur 17 tahun, setiap pagi antre untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antre. Mengenang saat-saat sulit, bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang. Pelan-pelan, air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu. Hanya kuasa Tuhan yang bisa menjadikan semua ini nyata. Ia lalu mengenang ibunya yg sudah meninggal karena kanker. Ibunya yang rela menjahitnya demi menghemat. “Tak ada uang, Nak…”. Jan Koum tercenung. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan berita bahagia ini kepada ibunya. Rezeki datang dari arah dan bentuk yang tidak terduga. Remaja miskin yang dulu dapat jatah makan itu kini jadi triliuner berkat kesabarannya. Pada saatnya kita akan dibukakan pintu berkat oleh Tuhan, semuanya akan menjadi nyata. (BMSPS)