Find Us On Social Media :

Bersyukur Saling Berbagi dalam Perjalanan Hidup, Seorang Wanita Merawat Sahabatnya Sampai Akhir

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 10 Desember 2014 | 21:00 WIB

Bersyukur Saling Berbagi dalam Perjalanan Hidup, Seorang Wanita Merawat Sahabatnya Sampai Akhir

Intisari-Online.com – Ketika Tracy Teuscher mengetahui bahwa sahabatnya itu sakit parah, ia tahu bahwa ia harus membuat perubahan hidup yang besar sehingga ia menghabiskan waktu sebanyak mungkin agar ia bisa bersama sahabatnya.

“Setiap kali ia menelepon saya, saya benar-benar merasa bahwa saya harus 100 persen berada di dekatnya,” ujar Teuscher, 50 mengingatnya. “Tidak peduli bahwa rumah harus dibersihkan atau sedang mencuci baju. Tapi rasanya Anda harus segera mencari tahu apa yang penting.”

Meski teman-teman terdekat jarang sebagai pengasuh utama, tapi peran besar bagi mereka yang lemah sangat penting, demikian yang dikatakan para ahli. Apakah itu kanker, awal Alzheimer atau penyakit yang melemahkan lainnya, lingkaran dekat teman-teman yang saling menyayangi, dapat memberikan dukungan yang orang lain tidak bisa lakukan.

“Orang mungkin merasa bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk keluarganya, meski ia tidak menunjukkan bagaimana secara emosional tertekan, “ kata Richard Morycz, seorang profesor kedokteran jiwa dan pekerjaan sosial di University of Pittburgh.

Seorang teman dapat membantu membawa kembali identitas perasaan seseorang. Pada awal Azheimer atau stroke, pasien kadang-kadang berjuang untuk mempertahankan rasa mereka sebagai pribadi. Nah, seorang teman bisa membawanya mengingat masa lalu, dan masa lalu ini bisa membantu mempertahankan rasa diri si pasien. Setelah itu kita lihat bagaimana si pasien mungkinkan melakukan hal-hal yang bisa dilakukan di masa lalu, seperti mendengarkan musik atau memainkan musik.

Maka, tidak pernah ada keraguan dalam pikiran Teuscher bahwa ia akan berada di sana untuk sahabatnya, Don Jondron, ketika ia didiagnosis stadium 4 kanker tenggorokan pada tahun 2006.

Ia bertemu Jondron beberapa tahun sebelumnya, dan ia merasa nyambung. “Aku adalah anak tunggal,” kata Teuscher. “Jadi ia seperti saudara laki-laki yang tidak pernah saya punya. Ia juga punya selera humor yang tinggi.”

Diagnosis mengerikan itu dikatakan kepadanya dengan Jondron hanya tinggal beberapa bulan untuk hidup. Tapi bulan demi bulan hingga berganti tahun, persahabatan mereka semakin mendalam. Meskipun tinggal berjauhan, Teuscher di Canton, Ohio, sementara Jondron di Califormia sebelum pindah ke Hawaii, mereka berhubungan di telepon selama seminggu dan merencanakan bertemu bila memungkinkan.

“Kami tidak pernah romantis, tapi kami adalah belahan jiwa,” kata Teuscher. “Secara mendalam kami saling terhubung dari waktu ke waktu. Dan semakin kita bersama, semakin banyak yang diwujudkan.”

Meskipun Teuscher tidak pernah merawat Jondron, tapi ia tetap menghubungi dan memberikan dukungan pada sahabatnya itu. Ia mengirimkan selimut lembut besar (mereka menyebutnya The Love Blanket), mengirimkan krim herbat dan obat penghilang rasa sakit dan perawatan kulit, serta catatan-catatan kecil dengan doa dan meditasi.

“Sudah dua tahun sejak ia meninggal dan saya berpikir tentangnya setiap hari,” kata Teuscher. “Saya mendengar kata-katanya. Saya mendengar tawanya. Saat-saat ketika saya  merasa sangat sedih. Tetapi pada saat  yang sama saya bersyukur karena telah mampu berbagi perjalanan dengannya.”