Find Us On Social Media :

Nak, Berkacalah pada Cerminmu Sendiri

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 20 Januari 2015 | 20:30 WIB

Nak, Berkacalah pada Cerminmu Sendiri

Intisari-Online.com – Seorang ibu selalu memberi nasihat kepada anak tunggalnya yang berumur 11 tahun, dengan kata-kata demikian, “Nak, berkacalah pada cerminmu sendiri.” Ibu ini tidak mau memberi terlalu banyak nasihat, atau perintah yang kadang tidak berkhasiat. Semakin banyak atribut wejangan, anak akan bingung mana yang menjadi prioritas. Sejak suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu, ia satu-satunya yang bertanggung jawab akan masa depan anaknya.

Suasana dan kondisi keluarga yang pilu membuat ibu itu lebih suka memberi nasihat, “Nak, berkacalah di cerminmu sendiri.” Ibu itu juga tidak mau menerangkan apa arti ungkapan itu. Ia  membiarkan anaknya sendiri menemukan maknanya dan ia akan mengingatnya selalu.

Pada suatu hari, saat makan malam, anaknya berkeluh, “Ibu, semua teman saya selalu diantar jemput, mereka suka makan di kantin. Pokoknya teman-teman saya selalu senang seperti tidak ada yang kurang.”

Ibunya yang mendengar “jeritan” anaknya merasa sangat pilu, air matanya mulai mengalir namun ia menahan diri. Ia tidak mau menangis di depan anaknya itu. Ia harus kuat dan teguh. Ia pun mengatakan, “Nak, berkacalah di cerminmu sendiri.” Anaknya diam. Menjelang tidur, anaknya merenungkan apa arti ungkapan ibunya itu.

Setahun kemudian, anaknya kembali berkeluh kesah, “Ibu, hampir semua teman-teman saya punya ponsel terbaru. Saat sekolah usai mereka menelepon ayah mereka untuk dijemput.” Kali ini sang Ibu tidak kuasa menahan air matanya, namun ia cepat menyekanya. Sekali lagi ia tidak ingin anaknya melihatnya sedih. Sambil memeluk anaknya ia mengatakan, “Nak, berkacalah di cerminmu sendiri.” Setelah itu Ibu itu bergegas ke kamar dan menangis sendirian.

Akhirnya, sang anak mengerti apa arti ungkapan dari ibunya itu, “Lihatlah dirimu, keluargamu, dan hidupmu sendiri. Terimalah apa adanya dan jangan terlalu banyak mengeluh apalagi menangis. Ubahlah “nasibmu” dengan tekad dan perjuangan sehingga kamu juga akan bisa seperti mereka yang mempunyai dan memiliki.”

Itulah “butir-butir mutiara” yang terpatri di hati sang anak. Semenjak itu, ia tidak lagi mengeluh. Kini, si anak selalu  mengatakan, “Ibu, nilai-nilai saya sangat bagus dan guru-guru selalu senang dengan saya karena pekerjaan rumah saya selalu bagus.”

Kali ini pun ibunya tetap mengatakan, “Nak, berkacalahlah di cerminmu sendiri.”

Si anak mengartikannya sebagai “jangan cepat berpuas diri”. Demikianlah si anak menjadi sangat berprestasi dan selalu mendapat beasiswa.

Nilai hidup yang luhur adalah bahwa kebahagiaan dan kesuksesan itu hak setiap insan dan mengeluh tidak akan menghasilkan apa-apa. Tanamkan pada diri sendiri sikap optimis dan bahwa kita bisa mengubah nasib kita sendiri dengan tekad dan perjuangan. Jangan sampai kita dikuasai oleh sikap gengsi sehingga kita malu tampil apa adanya. (SD)